#Cerpen "Cause I'm Your Friend"



Cause I’m Your Friend (Fieranty)

(Fieranty Berliana P - X MIA 3)

Cahaya mentari memasuki jendela kamar, membangunkan fei dari tidur malamnya yang singkat. Dengan malas fei membuka mata sambil meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal karena semalaman mengerjakan semua tugas sekolahnya yang pagi ini harus segera dikumpulkan.

Berdiri menunggu bus dikeramaian pagi dengan kesibukan masyarakat yang padat dengan jadwalnya sendiri begitu membosankan. Setelah kurang lebih 5 menit menunggu akhirnya bus pun tiba, fei segera memasuki bus dan mencari tempat duduk yang kosong. Duduklah fei dikursi kosong, bersebelahan dengan seorang lelaki berseragam SMA seperti yang fei kenakan namun fei tidak memperdulikan seseorang disebelahnya. ”Hey” panggilnya sambil menyiku lengan fei. Dengan heran fei menoleh, “Ya?” “Sepertinya kita satu sekolah ya.” Tanyanya sambil memperhatikan seragam yang mereka kenakan. “Ada apa?” Tanya fei pada orang asing itu. Baginya semua orang yang tidak ia kenal adalah orang asing. “Apa kau anak kelas sebelas? Sepertinya aku sering melihatmu.”

Mencoba mengabaikan orang asing yang mencoba baik mungkin bukan hal bagus. “Atau kau kelas dua belas?” tanyanya lagi. Fei tidak begitu memperhatikannya sehingga tidak menjawab pertanyaannya. “Sebelas.” Jawab fei singkat namun mencoba seramah mungkin. Karena ia tau tidak baik bersikap dingin kepada orang –yang mungkin bisa dibilang teman satu sekolahnya- yang sudah mencoba menyapa dan bersikap baik padanya. “Sepertinya aku belum pernah melihatnya” batin fei.

Hari ini pembagian kelas pada awal tahun ajaran baru. Setelah mengetahui pada kelas apa murid akan mencari kegilaan, ditujulah kelasnya masing-masing. Sambil memasuki kelas, fei melihat sekeliling dan sepertinya wajah itu tak asing lagi bagi fei. “Hey apa itu lelaki dibus tadi? Aku sekelas dengannya?” tanyanya pada dirinya sendiri sambil mencari kursi kosong. Lelaki itu menyadari kehadiran fei dan duduklah ia dikursi kosong depan fei. “Ryan” ucapnya sambil memberikan tangannya. Fei hanya memperhatikannya dengan bingung. “Nama?” katanya lagi. “Fei” jawab fei tanpa membalas tangan ryan. Ryan hanya tersenyum sambil melihat tangannya sendiri kemudian kembali melihat fei yang sepertinya tidak terlalu tertarik untuk berbicara.

Tak lama, bel dimulainya pelajaran pun berbunyi. Setiap walikelas memasuki kelas untuk mengontrol kelas barunya. Seperti kelas baru pada umumnya, adanya pemilihan kepengurusan kelas. Kali ini sang walikelaslah yang menentukan setiap pengurusnya. Tanpa diduga fei terpilih sebagai ketua kelas. Mengetahui hal itu fei hanya bisa menghela nafas. Menjadi ketua kelas dengan tanggung jawab yang besar bukanlah hal mudah, itulah yang ada dipikiran fei. Tapi fei harus melaksanakan kewajibannya itu dengan ringan hati.

Waktu berlalu begitu cepat, semester akhir pun hampir berakhir. Sekolah akan mengadakan berbagai acara untuk mengisi waktu luang dan refreshing setelah ujian. Setiap kelas sibuk untuk mempersiapkan berbagai lomba dan acara yang akan diikuti, dan diwajibkan mendaftar terlebih dulu pada link website yang telah ditentukan. 

Mungkin dalam hal itu bukan fei lah ahlinya. Sebagai ketua kelas ia diharus mengatur semuanya, sedangkan pengurus lain hanya menunggu fei bertindak. “Apa kalian tidak punya ide untuk semua lomba itu? Terutama lomba membuat film pendek. Itu bukan hal mudah.” Tanya fei mencoba menahan panasnya emosi pada dirinya. “Entahlah.” Jawab salah satu pengurus kelas seperti tidak peduli. ‘”Kau kan ketua kelas, harusnya memberi masukan untuk kelancaran semua ini. Kami kan hanya menjalankan tugas.” Jawab yang lainnya. “Ayolah, kita sudah dikejar waktu.” Fei mulai merasa gila dengan acara semacam ini, terutama dengan para pengurus yang tidak membantu sama sekali.

Fei berjalan dikoridor sekolah dengan tatapan kosong. Memikirkan bagaimana kelancaran acara yang akan diikuti kelasnya, sedangkan ia tidak punya banyak ide untuk semua itu. Ryan yang berjalan tak jauh dibelakang mencoba menghampirinya. Namun fei sepertinya sedang melamun sampai tak menyadari ryan berjalan disampingnya sambil memperhatikannya dengan bingung. “Fei ada apa?” namun fei hanya diam sambil terus berjalan. 

Berjalannya waktu membuat ryan bukanlah orang asing lagi bagi fei. Terkadang ryan lah yang membantu fei dalam mengurus kelasnya. Namun akhir-akhir ini fei lebih diam dari biasanya. Fei menoleh dan terkejut ada ryan yang berjalan disampingnya, “Sejak kapan?” tanyanya bingung. “Cukup lama.” Jawab ryan sambil memasukan tangan kesaku celana. “Ada apa fei?” Ryan mulai bertanya serius, menatap dalam mata fei seakan mata mereka berbicara. Ryan tau pasti fei sedang ada masalah, namun seperti biasa ia tidak mau menceritakannya begitu saja.

Satu hari menjelang acara, namun persiapan kelas fei belum sampai lima puluh persen. Satu kelas begitu sibuk dengan persiapan acara dan fei teringat sesuatu, “Astaga aku baru ingat. Apa kelas kita sudah mendaftar pada link yang sudah ditentukan itu?” Tanya fei kepada kez, wakil ketua kelas. “Apa? Bukannya kau yang mendaftarkannya?” Kez malah berbalik tanya dan terlihat panik. “Aku kira kau akan mendaftarkannya.” Fei mencoba tenang walau sebenarnya ia mulai merasa kesal. “Memangnya aku pernah bilang akan mendaftarkannya? Tidak. Kenapa kau malah tidak mendaftarkannya?” kez pun mulai panas. “Untuk apa kita sia-sia mempersiapkan semua ini kalau tidak terdaftar sebagai peserta lomba?” Nada bicara feipun makin seperti membentak fei. Rasanya ingin sekali fei marah tapi mulut fei seperti terkunci, suaranya seperti hilang begitu saja. Fei hanya bisa diam, teman satu kelas pun mulai mengerumuni mereka berdua.

“Jadi kelas kita belum terdaftar sebagai peserta?” celetuk salah satu murid. “Belumlah, siapa yang sudah mendaftarkannya? Tidak ada yang mendaftarkan kelas kita.” Jawab kez begitu saja. Suasana kelas pun menjadi semakin panas. Fei hanya bisa menunduk, sebenarnya ia ingin sekali menjawab tapi badannya terasa kaku. Tidak pernah ia dihakimi semacam ini. “Jadi buat apa kita susah payah menyiapkan ini semua?” Tanya murid yang lainnya. Semua murid sudah merasa lelah termasuk fei yang berkali-kali lipat lelahnya. Semua murid hanya saling berbisik-bisik. “Jadi gimana fei? Jangan diem aja!”

Ryan dan beberapa murid yang lain baru saja selesai membuat film pendek untuk perlombaan. Para pemeran dalam film pendek itu sedang sedang beristirahat dikantin. Tiba-tiba saja terlintas fei dalam fikiran ryan. Dan ia teringat sesuatu, fei tidak sedang baik-baik saja. Ryan memutuskan kembali kekelas untuk melihat fei dan yang lainnya menyiapkan lomba apa saja yang akan mereka ikuti. Tidak jauh dari kelas terdengar suara ricuh, perasaan ryan pun mulai tidak enak. “Apa ada yang tidak beres?” pikirnya. Tiba didepan kelas, ternyata benar suara itu berasal dari kelas fei. Murid-murid berkumpul seperti sedang mengerumuni seseorang. “Hey ada apa ini?” teriak ryan namun suaranya tidak sebanding denga suara ricuh kelas. Ryan mencoba menerobos kerumunan teman kelasnya itu dan dilihatnya fei yang tertunduk, badannya seperti gemetar. “Ada apa fei?” batin ryan. Tanpa banyak bicara, ditarik lah fei menjauhi kerumunan itu. Ryan mencoba membawa fei ketempat yang lebih tenang, taman belakang sekolah. Fei tidak menangis tapi badannya gemetar seperti sedang menahan tangis, fei terus saja menunduk tidak mau menatap ryan sedikitpu. Rambut panjangnya yang terurai tertiup angin, menampakan wajahnya yang terlihat seperti takut atau mungkin seperti merasa bersalah.

“Fei?” ryan mencoba menenangkan fei yang masih terlihat tertekan. “Fei, kau baik-baik saja?” ditanya seperti itu bukannya menjawab, malah suara isak tangis yang terdengar. Fei menangis sejadi-jadinya. Ingin sekali fei menceritakan semua masalahnya, tapi rasanya begitu sulit. Hatinya terasa begitu sakit. Semua usahanya terasa sia-sia, semua perjuangannya hilang begitu saja. Mengatur semua itu sendirian dan tidak dihargai sama sekali. 


Fei tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Ia hanya bisa menangis meluapkan emosinya. Ryan mencoba menenangkannya. Dibawalah fei dalam pelukannya, meluapkan segala emosi dan masalah yang ia hadapi sendirian. Hanya suara tangis yang terdengar, air mata fei jatuh begitu saja. Rasanya seperti satu persatu masalahpun pergi, namun sebenarnya masalah fei belum berakhir. Fei mencoba menenangkan dirinya, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah fei merasa lebih tenang, ryan melepaskan pelukannya, memegang pundak fei dan menatap matanya dalam. “Fei, lihat kesini! Jangan pernah hadapi masalah sendirian! Jangan lagi! Disini ada aku, aku siap dengerin semua masalah kamu. Kita teman kan, fei?” fei hanya menghela nafas mendengar itu. Fei mencoba tersenyum melawan semua emosinya, ternyata dia tidaklah lagi sendirian. “Terima kasih.”

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

O.W.L

O.W.L
Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL

Twitter KPP !!

Pengikut