#Cerpen "Cerpen Agustus"
CERPEN AGUSTUS
(Aghnia Nada Sabira - XI MIA 4)
Pada sebuah tanah terlupakan, di pinggiran kota yang tak signifikan, mengakarlah sebuah pohon raksasa. Ia, yang terdiam menyaksikan sang waktu terus bergerak hingga ia tak tahu lagi apakah waktu itu cepat? Ataukah ia lambat? Namun, sang pohon tak peduli. Ia sedang terpesona. Sebuah kehidupan baru saja terlahir di salah satu daunnya.
"Halo, makhluk kecil," sapanya, dalam bahasa alam, yang bisa menyampaikan gambaran dan perasaan, bahasa yang hanya dimengerti pohon dan para serangga. Makhluk itu, alih-alih menjawab, mulai menggerogoti daun sang pohon tua. Hari-hari berlalu, dan makhluk itu bertambah berat dan lebar. Menggerogoti daun-daun sang pohon. Namun sang pohon tak peduli.
"Mengapa pohon-pohon lain diam?" Tanya makhluk kecil itu suatu hari, pertama kalinya ia bicara.
"Mereka belum hidup cukup lama untuk sadar mereka hidup," jawab sang pohon.
"Bagaimana denganku? Aku lebih muda dari mereka," tukas makhluk kecil itu. Sang pohon tak menjawab. Ah, benar. Makhluk-makhluk, yang bukan pepohonan atau rumput atau lumut, 'hidup' dari saat mereka lahir. Sebersit iri menghinggapinya, yang baru menyadari kehidupan beberapa tahun lalu. Namun ia tak peduli. Kesukaannya pada makhluk kecil itu lebih besar.
"Mengapa aku tak melihat pohon-pohon yang bisa bicara, Pohon?" tanya makhluk itu lagi.
"Alam membunuh mereka. Atau manusia."
"Manusia?"
"Alam membunuh mereka. Atau manusia."
"Manusia?"
"Ya," jawab sang Pohon. Pikirannya melayang pada anak-anak manusia yang dulu suka bermain di sekitarnya. Dan salah satu dari mereka. Yang selalu ingin ia temui lagi. "Mereka kaum yang tak suka matahari. Biar kunamai kau Anina, seperti satu manusia yang suka mematahkan dahanku dan menanamnya lagi agar menjadi pohon baru."
"Apakah aku akan berubah, Pohon?" sela makhluk kecil itu, yang kini namanya Anina. Pohon itu terdiam. Ia tak dapat mengingat apapun sebelum ia 'hidup', dan ia telah terlampau tua hingga telah lama tak ada lagi yang menelurkan kehidupan di daun-daunnya.
"Aku melihat, Pohon, bahwa ulat-ulat akan menjadi kaku seperti kayu, dan berubah menjadi kupu-kupu," sambung Anina.
"Aku tahu kupu-kupu," bisik Pohon. "Mereka makhluk kecil yang indah, mengusap ujung-ujung rantingku dimana bunga dulunya tumbuh, kemudian pergi."
"Kemudian mereka akan mati begitu saja," kata si ulat getir. Pohon itu terdiam. Anina akan meninggalkannya. Pergi kemanapun ia suka. Dan melihat dunia. Hanya dalam kurun waktu beberapa hari ia hidup. Sementara ia, sang pohon, hanya terdiam dan menunggu selamanya. Menunggu entah apa. Ia iri, namun kesedihannya bahwa makhluk kecil itu akan meninggalkannya mengalahkan hal itu.
"Tak apa," hibur sang pohon. "Setidaknya kau akan melihat dunia. Kau akan tahu lebih dariku, yang telah hidup jauh lebih lama darimu." Anina terdiam. Ia tak ingin mati. Kesedihan dan ketakutannya menyengat sang pohon, yang merasakannya tanpa Anina perlu mengucapkan apapun.
Kemudian, seperti yang sudah diperkirakan Anina, ia menjadi kepompong tak lama berselang.
"Anina, beberapa manusia pindah kemari," bisik sang pohon. Anina tak menjawab. Entah ia bisa mendengarnya atau tidak.
Esoknya, sang pohon berbisik lagi. "Anina, manusia bernama Anina itu kembali! Aku bisa merasakan jiwanya saat ia berteduh di bawahku."
Tak ada jawaban, biarpun sang pohon bicara pada Anina setiap hari, melaporkan setiap pergerakan manusia bernama Anina yang bersama kawan-kawannya mulai merobohkan dan merapikan bangunan-bangunan reyot di sekitar mereka, lalu tiap hari akan menatap sang pohon sejenak. Hingga hari ketiga belas. Pohon itu, untuk pertama kalinya, bermimpi. Sebuah tempat yang terang. Tak panas dan tak dingin. Sebuah sosok yang abstrak ada di sana, namun sang pohon bisa mengenalinya sebagai Anina.
"Aku tak ingin melihat dunia, Pohon," Anina berkata. "Semua kupu-kupu yang menghampiri mimpiku berkata manusia terlalu jahat untuk disaksikan."
"Bukankah setiap hari telah kuberi tahu kau tentang Anina, manusia yang baik hati?" Protes sang pohon. Anina tak sepakat. Ia diam.
"Tapi aku juga tak ingin mati," sambung Anina setelah beberapa lama.
Pohon itu terdiam. Ia begitu menginginkan melihat dunia. Menghampiri Anina manusia yang baik hati, biar ia buktikan bahwa Anina memang baik hati. Ia ingin menghibur Anina ulat, namun ia tak tahu rasanya takut pada kematian.
"Maukah kau bertukar denganku?" Tanya Anina tiba-tiba.
Kemudian mimpi itu berakhir. Pohon merasakan kehidupan memgaliri sekujur tubuhnya. Ah, ia telah terbangun--dan ia bisa bergerak! Ia menggeliat, dan seberkas cahaya muncul lalu mulai merekah-- Ia kini kupu-kupu! Kupu-kupu itu merangkak keluar, hinggap di batangnya. Ia bisa melihat dunia- begitu berwarna, begitu indah. Dan tubuh lamanya, dimana kini jiwa Anina mendekam.
"Aku merasakan ketenangan," bisikan yang jelas milik Anina itu mencapainya.
"Aku merasakan kehidupan," jawab pohon yang kini kupu-kupu.
"Terimakasih," mereka berdua berkata bersamaan.
"Kita akan bertemu lagi," kata Anina. Si kupu-kupu merentangkan sayapnya. Entah kenapa ia tahu bahwa mereka akan bertemu lagi.
"Aku merasakan kehidupan," jawab pohon yang kini kupu-kupu.
"Terimakasih," mereka berdua berkata bersamaan.
"Kita akan bertemu lagi," kata Anina. Si kupu-kupu merentangkan sayapnya. Entah kenapa ia tahu bahwa mereka akan bertemu lagi.
"Ya," jawabnya, bahagia. "Sampai jumpa lagi."
Kupu-kupu meninggalkan Anina. Ia merentangkan sayapnya dan akhirnya merasakan kebebasan untuk pertama kalinya. Ah, Anina manusia! Ia sedang bicara pada kawan-kawannya, seraya menunjuk tubuh lama si kupu-kupu. Kupu-kupu itu gembira. Anina sedang membicarakannya! Ia memutuskan untuk hinggap di bahu Anina, menyapanya. Namun Anina bukan lagi anak perempuan yang mencintai alam.
"Ah! Serangga!" Jeritnya seraya menepis si kupu-kupu.
Si kupu-kupu terlempar, oleng, kemudian jatuh ke tanah. Mati. Anina, manusia itu, terdiam setelah menepis si kupu-kupu. Ia jatuh ke tanah, pingsan. Kawan-kawannya panik dan melarikan ia ke rumah sakit, namun dokter tak tahu apa yang salah dengan dirinya. Tak lama, Anina pohon ditebang. Orang yang pertama menyentuhnya, salah satu kawan Anina manusia, jatuh pingsan seperti Anina manusia. Bahkan itupun tak menghentikan penebangan. Dua minggu kemudian mereka berdua terbangun, bersebelahan, di bawah temaramnya lampu rumah sakit.
"Anina," kata Anina, air mata mengaliri pipinya. "Kita memang bertemu lagi. Rupanya kau benar tentang manusia. Bahkan Anina pun tak baik hati."
"Tidak lagi," sahut yang diajak bicara. "Kau dan aku sekarang manusia. Biar kita buktikan, bahwa Anina selalu baik."
Esoknya, Anina dan kawannya menghilang. Seorang kawan mereka yang lain melihat keduanya lama kemudian, jauh, jauh di ujung dunia. Tersenyum, menyatakan Anina yang baik hati.
05.21
|
Label:
Cerpen KKP
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Kami
O.W.L
Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL
0 komentar:
Posting Komentar