#Cerpen "Terakhir "
TERAKHIR
(Navany Bilqist - X MIA 5)
Dion berjalan menyusuri koridor tanpa banyak bicara. Suara sepatunya berdetak di lantai, mengantarkan sebuah keributan yang amat sangat di koridor sepi itu. Tangan kanannya membawa sebuket bunga untuk diantarkan kepada salah satu pasiennya. Jas putihnya melayang-layang mengikuti pergerakannya yang cepat. Dion menghentikan langkahnya tepat di depan kamar nomor 96. Memutar kenop pintu secara perlahan lalu menutup kembali pintu oak itu tanpa suara.
Tirai jendela yang menghalangi sinar matahari yang keemasan itu membuat penerangan di dalamnya sedikit remang. Sosok Radit, adiknya yang terbaring lemah dengan berbagai macam selang infus di tangannya membuat Dion tersenyum getir. Dion berjalan menghampiri ranjang itu. Menaruh sebuket bunga yang dibawanya di atas meja kecil. Kedua mata Radit terlihat lemah membuat Dion sedikit meringis melihat keadaannya.
Bola mata hitam itu tak bersinar lagi layaknya seperti dulu. Tak ada lagi senyum manisnya yang selalu terulas rapi di wajahnya. Rambut pendek hitamnya telah hilang entah kemana. Tubuhnya yang kurus dan tak bertenaga membuat Dion kembali tersenyum getir.
"Kak...." Radit memanggilnya pelan.
"Kakak di sini," jawab Dion lembut seraya mengenggam erat tangan porselen kurus adiknya.
"Jika aku sembuh, bolehkah aku bermain sepak bola dengan kakak di luar?"
"Dengan senang hati."
"Aku bosan di sini, Kak."
Aku tahu itu.
"Aku ingin menghirup udara di luar bersama Kakak. Bermain sepak bola bersama. Berlari bersama, seperti dulu...,"
Aku juga.
"Tapi, bisakah aku seperti dulu lagi? Berjalan kembali tanpa kursi roda. Menelan makananku tanpa menggunakan infus menyakitkan ini. Tertawa sepuasku tanpa harus merasakan sakit. Bisakah aku seperti itu kembali, Kak?"
"Kurasa Kakak bohong." Radit mendesah kecewa.
Kedua alis Dion saling bertautan, "kenapa bisa begitu?"
"Kakak tersenyum karena kakak tak bisa menjawab pertanyaanku. Hati kecil kakak gundah karena kemungkinanku hidup hanya tiga persen dari sembilan puluh tujuh persen lainnya. Hati kecil kakak bingung, entah apa yang harus kakak jawab. Pikiran kakak memerintah kakak untuk tersenyum sebaik mungkin di depanku. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman penyemangat yang kulihat, melainkan senyuman kesedihan yang ditutupi oleh kebohongan dan kebodohan. Kakak salah!" tutur Radit pelan seraya memalingkan pandangannya ke tirai jendela yang menghalangi sinar matahari menerpa ranjangnya.
"Maaf," jawab Dion singkat. Mungkin jika Radit memperhatikan dengan seksama wajah Dion, kedua bola matanya tengah berjuang menahan air mata.
Radit tersenyum miring. "Tak perlu minta maaf. Sekarang pergilah! Kakak ke sini hanya untuk mengantarkan sebuket bunga itu untukku 'kan?"
Dion tersenyum tipis dan mengangguk samar. Derap langkah kakinya yang menggema mengiringi tangisan penyesalan Radit pada sang kakak, Dion.
Maafkan aku, Kak. Aku minta maaf....
Langkah Dion yang teratur menapaki lantai keramik itu terdengar lirih. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, wajar jika lorong di lantai tiga ini terlihat lenggang. Hanya ada beberapa suster yang masih berlalu lalang untuk menjaga pasien. Tugas Dion kini telah selesai. Ia melewati beberapa nomor kamar dengan langkahnya yang panjang. Kamar tiap kamar ia lewati dengan cepat. Langkah Dion semakin melambat lalu berhenti. Ditatapnya pintu oak dengan papan kecil hitam bertuliskan nomor 96 itu. Langkah Dion mengantarkannya masuk ke dalam ruang sunyi itu. Kedua bola mata Dion meredup. Ditutupnya perlahan pintu oak tersebut.
Tirai jendela yang selalu menghalangi garis-garis sinar keemasan matahari itu kini terbuka lebar. Dion tak lagi tersenyum getir setiap ia memasuki ruangan ini. Dion tak lagi membawa sebuket bunga atau sekeranjang buah-buahan guna kesembuhan pasiennya itu. Dion tak lagi menemukan bola matanya yang sudah sirna sinarnya. Dion tak lagi menemukan sosok laki-laki yang selalu terbaring lemah di atas ranjangnya yang putih. Dion tak lagi mendengar suara lirihannya yang selalu menyebut namanya ketika Dion memasuki ruangan ini. Dion tak lagi menangis dalam diam ketika mendengar suara kesakitan darinya yang memekakkan telinga. Kini, Dion sendiri tanpa tujuan untuk sekedar bertemu dengannya. Adiknya yang ia sayangi---
Kini telah tiada---
Aroma tubuhnya masih tersisa hingga Dion dapat merasakan kehadirannya di sini. Senyumannya yang tulus membuat Dion nyaman akannya.
"Jika aku sembuh, bolehkah aku bermain sepak bola dengan Kakak di luar? Aku bosan di sini, Kak. Aku ingin menghirup udara luar bersama Kakak. Bermain sepak bola bersama. Berlari bersama, seperti dulu. Tapi, bisakah aku seperti dulu lagi? Berjalan kembali tanpa kursi roda. Menelan makananku tanpa menggunakan infus menyakitkan ini. Tertawa sepuasku tanpa harus merasakan sakit. Bisakah aku seperti itu kembali, Kak?"
Tertawa bersamaku?
Bermain bersamaku?
Berlari bersama?
Menunggu senja sore dengan keringat yang membanjiri tubuh kita?
Bertengkar dan memukulku?
Bisakah kau seperti itu lagi?
Bisakah kau kembali ke dunia ini tanpa harus aku merasakan kesepian karenamu?
Bisakah kau kembali, Adikku?
Sekedar bertemu dan memelukmu?
Memarahimu karena meninggalkanku sendiri?
Mungkinkah kita akan bertemu di dalam mimpi?
Mungkinkah?
Kuharap seperti itu...
Kini Dion pun menangis....
05.05
|
Label:
Cerpen KKP
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Kami
O.W.L
Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL
0 komentar:
Posting Komentar