#Cerpen "Cause I'm Your Friend"
Cause I’m Your Friend (Fieranty)
(Fieranty Berliana P - X MIA 3)
Cahaya mentari memasuki jendela kamar, membangunkan fei dari tidur malamnya yang singkat. Dengan malas fei membuka mata sambil meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal karena semalaman mengerjakan semua tugas sekolahnya yang pagi ini harus segera dikumpulkan.
Berdiri menunggu bus dikeramaian pagi dengan kesibukan masyarakat yang padat dengan jadwalnya sendiri begitu membosankan. Setelah kurang lebih 5 menit menunggu akhirnya bus pun tiba, fei segera memasuki bus dan mencari tempat duduk yang kosong. Duduklah fei dikursi kosong, bersebelahan dengan seorang lelaki berseragam SMA seperti yang fei kenakan namun fei tidak memperdulikan seseorang disebelahnya. ”Hey” panggilnya sambil menyiku lengan fei. Dengan heran fei menoleh, “Ya?” “Sepertinya kita satu sekolah ya.” Tanyanya sambil memperhatikan seragam yang mereka kenakan. “Ada apa?” Tanya fei pada orang asing itu. Baginya semua orang yang tidak ia kenal adalah orang asing. “Apa kau anak kelas sebelas? Sepertinya aku sering melihatmu.”
Mencoba mengabaikan orang asing yang mencoba baik mungkin bukan hal bagus. “Atau kau kelas dua belas?” tanyanya lagi. Fei tidak begitu memperhatikannya sehingga tidak menjawab pertanyaannya. “Sebelas.” Jawab fei singkat namun mencoba seramah mungkin. Karena ia tau tidak baik bersikap dingin kepada orang –yang mungkin bisa dibilang teman satu sekolahnya- yang sudah mencoba menyapa dan bersikap baik padanya. “Sepertinya aku belum pernah melihatnya” batin fei.
Hari ini pembagian kelas pada awal tahun ajaran baru. Setelah mengetahui pada kelas apa murid akan mencari kegilaan, ditujulah kelasnya masing-masing. Sambil memasuki kelas, fei melihat sekeliling dan sepertinya wajah itu tak asing lagi bagi fei. “Hey apa itu lelaki dibus tadi? Aku sekelas dengannya?” tanyanya pada dirinya sendiri sambil mencari kursi kosong. Lelaki itu menyadari kehadiran fei dan duduklah ia dikursi kosong depan fei. “Ryan” ucapnya sambil memberikan tangannya. Fei hanya memperhatikannya dengan bingung. “Nama?” katanya lagi. “Fei” jawab fei tanpa membalas tangan ryan. Ryan hanya tersenyum sambil melihat tangannya sendiri kemudian kembali melihat fei yang sepertinya tidak terlalu tertarik untuk berbicara.
Tak lama, bel dimulainya pelajaran pun berbunyi. Setiap walikelas memasuki kelas untuk mengontrol kelas barunya. Seperti kelas baru pada umumnya, adanya pemilihan kepengurusan kelas. Kali ini sang walikelaslah yang menentukan setiap pengurusnya. Tanpa diduga fei terpilih sebagai ketua kelas. Mengetahui hal itu fei hanya bisa menghela nafas. Menjadi ketua kelas dengan tanggung jawab yang besar bukanlah hal mudah, itulah yang ada dipikiran fei. Tapi fei harus melaksanakan kewajibannya itu dengan ringan hati.
Waktu berlalu begitu cepat, semester akhir pun hampir berakhir. Sekolah akan mengadakan berbagai acara untuk mengisi waktu luang dan refreshing setelah ujian. Setiap kelas sibuk untuk mempersiapkan berbagai lomba dan acara yang akan diikuti, dan diwajibkan mendaftar terlebih dulu pada link website yang telah ditentukan.
Mungkin dalam hal itu bukan fei lah ahlinya. Sebagai ketua kelas ia diharus mengatur semuanya, sedangkan pengurus lain hanya menunggu fei bertindak. “Apa kalian tidak punya ide untuk semua lomba itu? Terutama lomba membuat film pendek. Itu bukan hal mudah.” Tanya fei mencoba menahan panasnya emosi pada dirinya. “Entahlah.” Jawab salah satu pengurus kelas seperti tidak peduli. ‘”Kau kan ketua kelas, harusnya memberi masukan untuk kelancaran semua ini. Kami kan hanya menjalankan tugas.” Jawab yang lainnya. “Ayolah, kita sudah dikejar waktu.” Fei mulai merasa gila dengan acara semacam ini, terutama dengan para pengurus yang tidak membantu sama sekali.
Fei berjalan dikoridor sekolah dengan tatapan kosong. Memikirkan bagaimana kelancaran acara yang akan diikuti kelasnya, sedangkan ia tidak punya banyak ide untuk semua itu. Ryan yang berjalan tak jauh dibelakang mencoba menghampirinya. Namun fei sepertinya sedang melamun sampai tak menyadari ryan berjalan disampingnya sambil memperhatikannya dengan bingung. “Fei ada apa?” namun fei hanya diam sambil terus berjalan.
Berjalannya waktu membuat ryan bukanlah orang asing lagi bagi fei. Terkadang ryan lah yang membantu fei dalam mengurus kelasnya. Namun akhir-akhir ini fei lebih diam dari biasanya. Fei menoleh dan terkejut ada ryan yang berjalan disampingnya, “Sejak kapan?” tanyanya bingung. “Cukup lama.” Jawab ryan sambil memasukan tangan kesaku celana. “Ada apa fei?” Ryan mulai bertanya serius, menatap dalam mata fei seakan mata mereka berbicara. Ryan tau pasti fei sedang ada masalah, namun seperti biasa ia tidak mau menceritakannya begitu saja.
Satu hari menjelang acara, namun persiapan kelas fei belum sampai lima puluh persen. Satu kelas begitu sibuk dengan persiapan acara dan fei teringat sesuatu, “Astaga aku baru ingat. Apa kelas kita sudah mendaftar pada link yang sudah ditentukan itu?” Tanya fei kepada kez, wakil ketua kelas. “Apa? Bukannya kau yang mendaftarkannya?” Kez malah berbalik tanya dan terlihat panik. “Aku kira kau akan mendaftarkannya.” Fei mencoba tenang walau sebenarnya ia mulai merasa kesal. “Memangnya aku pernah bilang akan mendaftarkannya? Tidak. Kenapa kau malah tidak mendaftarkannya?” kez pun mulai panas. “Untuk apa kita sia-sia mempersiapkan semua ini kalau tidak terdaftar sebagai peserta lomba?” Nada bicara feipun makin seperti membentak fei. Rasanya ingin sekali fei marah tapi mulut fei seperti terkunci, suaranya seperti hilang begitu saja. Fei hanya bisa diam, teman satu kelas pun mulai mengerumuni mereka berdua.
“Jadi kelas kita belum terdaftar sebagai peserta?” celetuk salah satu murid. “Belumlah, siapa yang sudah mendaftarkannya? Tidak ada yang mendaftarkan kelas kita.” Jawab kez begitu saja. Suasana kelas pun menjadi semakin panas. Fei hanya bisa menunduk, sebenarnya ia ingin sekali menjawab tapi badannya terasa kaku. Tidak pernah ia dihakimi semacam ini. “Jadi buat apa kita susah payah menyiapkan ini semua?” Tanya murid yang lainnya. Semua murid sudah merasa lelah termasuk fei yang berkali-kali lipat lelahnya. Semua murid hanya saling berbisik-bisik. “Jadi gimana fei? Jangan diem aja!”
Ryan dan beberapa murid yang lain baru saja selesai membuat film pendek untuk perlombaan. Para pemeran dalam film pendek itu sedang sedang beristirahat dikantin. Tiba-tiba saja terlintas fei dalam fikiran ryan. Dan ia teringat sesuatu, fei tidak sedang baik-baik saja. Ryan memutuskan kembali kekelas untuk melihat fei dan yang lainnya menyiapkan lomba apa saja yang akan mereka ikuti. Tidak jauh dari kelas terdengar suara ricuh, perasaan ryan pun mulai tidak enak. “Apa ada yang tidak beres?” pikirnya. Tiba didepan kelas, ternyata benar suara itu berasal dari kelas fei. Murid-murid berkumpul seperti sedang mengerumuni seseorang. “Hey ada apa ini?” teriak ryan namun suaranya tidak sebanding denga suara ricuh kelas. Ryan mencoba menerobos kerumunan teman kelasnya itu dan dilihatnya fei yang tertunduk, badannya seperti gemetar. “Ada apa fei?” batin ryan. Tanpa banyak bicara, ditarik lah fei menjauhi kerumunan itu. Ryan mencoba membawa fei ketempat yang lebih tenang, taman belakang sekolah. Fei tidak menangis tapi badannya gemetar seperti sedang menahan tangis, fei terus saja menunduk tidak mau menatap ryan sedikitpu. Rambut panjangnya yang terurai tertiup angin, menampakan wajahnya yang terlihat seperti takut atau mungkin seperti merasa bersalah.
“Fei?” ryan mencoba menenangkan fei yang masih terlihat tertekan. “Fei, kau baik-baik saja?” ditanya seperti itu bukannya menjawab, malah suara isak tangis yang terdengar. Fei menangis sejadi-jadinya. Ingin sekali fei menceritakan semua masalahnya, tapi rasanya begitu sulit. Hatinya terasa begitu sakit. Semua usahanya terasa sia-sia, semua perjuangannya hilang begitu saja. Mengatur semua itu sendirian dan tidak dihargai sama sekali.
Fei tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Ia hanya bisa menangis meluapkan emosinya. Ryan mencoba menenangkannya. Dibawalah fei dalam pelukannya, meluapkan segala emosi dan masalah yang ia hadapi sendirian. Hanya suara tangis yang terdengar, air mata fei jatuh begitu saja. Rasanya seperti satu persatu masalahpun pergi, namun sebenarnya masalah fei belum berakhir. Fei mencoba menenangkan dirinya, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah fei merasa lebih tenang, ryan melepaskan pelukannya, memegang pundak fei dan menatap matanya dalam. “Fei, lihat kesini! Jangan pernah hadapi masalah sendirian! Jangan lagi! Disini ada aku, aku siap dengerin semua masalah kamu. Kita teman kan, fei?” fei hanya menghela nafas mendengar itu. Fei mencoba tersenyum melawan semua emosinya, ternyata dia tidaklah lagi sendirian. “Terima kasih.”
04.25 | Label: Cerpen KKP | 0 Comments
#Cerpen "Merpati Putih"
MERPATI PUTIH
(Lina Fadhila - XI IIS 1)
Ini adalah hari pertamaku duduk dibangku SMA kelas 1. Sebelum aku lulus SMP, aku selalu berfikir bahwa masa-masa SMA adalah msa yang sagat menyenangkan. Namun, semua itu hanyalah cerita belaka yang hanya dapat saya dengar dari pengalaman orang lain tanpa aku sempat merasakannya.
Aku tidak lagi dapat merasakan indahnya dan cerianya masa-masa remaja, aku bahkan tidak dapat melanjutkan sekolahku, aku juga tidak dapat meraih cita-cita yang telahku bangun sejak aku kecil. Kini aku hanya memiliki kehidupan yang antah barantah, aku tak punya pekerjaan yang layak. Bahkan aku malu dengan pekerjaan yang aku lakukan saat ini, semua ini berawal dari seorang teman yang aku temui melalui jejaring sosial.
Wanita berhati busuk itulah yang telah menjebakku dalam pekerjaan hina ini, aku bukanlah wanita suci sesuci wanita lainnya, kini aku adalah wanita yang telah ternodai oleh noda yang amat sangat memalukan. Terkadang ingin sekali rasanya memutar ulang waktu dimana aku masih seorang gadis yang polos dan masih dalam keadaan suci, andai aku tidak mudah percaya pada wanita busuk itu dan andai aku tidak mudah tergiur oleh tawaran pekerjaan dengan isu gaji yang besar, mungkin saat ini aku masih duduk dibangku SMA kelas XI. Dan aku mungkin masih memiliki masa depan yang cerah, serta aku dapat meraih cita-cita yang telahku bangun sejak aku masih kecil.
Kini aku tak punya penghidupan yang damai, hati kecil ku selalu berkata bahwa aku harus keluar dari pekerjaan hina ini, namun rasa takut dan khawatirlah yang selalu menghalangiku untuk keluar dari dunia hitam ini. Setiap aku melihat gadis-gadis yang masih menggunakan seragam SMA dan tertawa bersama teman sebayanya membuat aku iri kepada setiap gadis yang bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Aku juga iri kepada gadis-gadis yang masih suci dan gadis yang dapat meraih cita-citanya.
Namun, rasa iriku tidak akan pernah dapat mengembalikan kesucianku sedia kala, harga diriku telah hilang dan direbut oleh ribuan lelaki hidung belang. Aku tak dapat memiliki kesempatan untuk merasakan indahnya masa SMA dan belajar dibangku SMA hingga lulus. Pendidikanku putus ditengah jalan. Bahkan aku malu dengan saudara-saudaraku yang saat ini masih dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.
Aku iri…. Iri…. Dan amat sangat iri…. Namun, rasa iriku tidak akan pernah bisa mengembalikan waktu dan tidak akan pernah bisa mengembalikan kesucianku sedia kala.
Aku hanya bisa meratapi nasib dan tidak dapat berbuat apa-apa, aku lelah dengan kehidupanku saat ini. Aku lelah dengan semua ini. Tuhan, betapa beratnya cobaan yang engkau berikan padaku? Mengapa engkau berikan cobaan yang begitu berat padaku? Mengapa Tuhan? Mengapa?
Saat pembagian ijazah..
“yeeeyy…. Aku lulus…”
“wah selamat yah Azizah,kamu lulus dan nilaimu juga bagus. Aku jadi iri dengan prestasi yang engkau raih”
“aahh bukan apa-apa kok, ilmuku masih belum seberapa disbanding denganmu”
Jawab azizah sambil tersenyum ceria kepada sahabatnya Naila.
“yasudah aku pulang duluan ya, aku ingin memberitahukan tentang berita ini kepada orang tuaku”
Pamit Naila sambil menunjuk ijazahnya dihadapan Azizah.
“yasudah, kamu hati-hati di jalan ya Nai”
“iya Zah, bye..”
“bye…”
Saat Azizah ingin pulang kerumahnya ia teringat sebuah berita yang ia dengar dari tetangganya bahwa biaya masuk SMA lebih mahal dari pada biaya masuk SMP, namu Azizah tepis berita tersebut dengan tetap optimis dan selalu berusaha. Saat di jalan Azizah bertemu seorang wanita yang sedang menggendong seorang bayi, ia melihat wajah wanita itu terlihat panic dan ketakutan, lalu Azizah memberanikan diri untuk menghampiri wanita tersebut.
“Permisi bu.. anu..hhmm..itu ibu kenapa terlihat panik?”
Tanya Azizah yang gugup untuk bertanya.
“Ini nak, anak ibu sakit tapi ibu gak punya uang untuk pergi ke dokter, ibu bingung pengobatan jaman sekarang mahal sekali nak. Ibu gak punya biaya buat pengobatan anak ibu ke doketer”
Seketika Azizah tertegun mendengar cerita dari wanita itu, ia merasa iba namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain memanjatkan doa untuk kesembuhan anak dari wanita itu.
“Maaf ibu, memangnya ayah dari anak ibu kemana?kok gak ada?”
“ kami bercerai nak 2 hari setelah melahirkan”
Azizah semakin merasa tidak enak hati dengan ibu beranak satu itu, dengan hati yang keberatan Azizah memutuskan untuk diam dan pamit pulang.
“Maaf ibu jika pertanyaan saya lancang. Mohon maaf juga bu, saya harus pamit pulang karena sudah sore, saya khawatir orang tua saya mencari-cari saya”
“oh iya baik nak, kamu hati-hati dijalan ya nak”
“baik bu, terimakasih”
Dengan sigap Azizah segera pergi meninggalkan wanita tersebut di tengah keramaian kota.
Sambil berjalan, Azizah memikirkan seorang ibu yang baru saja ia temui dipinggir jalan. Ia merasa iba kepada kesulitan yang dialami oleh wanita itu, dengan melihat masalah tersebut Azizah semakin bertekad untuk menggapai cita-citanya. Namun saat ia bertekad untuk menggapai cita-citanya sebuah suara membisikkan ketelinganya dan berkata “mana mungkin kamu bisa menggapai cita-citamu, kamu saja bukan dari orang yang berada dan orang tuamu juga mana mungkin dapat membiayai uang sekolahmu hingga engkau kuliah, mungkin nasibmu dimasa depan sama persis yang di alami ibu tersebut”
Kalimat itulah yang selalu menghantui dirinya, kalimat itu juga yang membuat semangatnya selalu menurun.
***
Disuatu malam, Azizah sedang duduk santai di sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Sambil melihat indahnya rembulan ia mengingat wanita yang ia temui dua hari yang lalu, rasa ingin menggapai cita-citanya selalu ada dalam hatinya yang paling dalam. Saat itu sedang memikirkan nasib wanita itu, seketika kalimat itu kembali menghantuinya. Sambil menutup telinganya Azizah berteriak bahwa “itu semua hanyalah omong kosong, aku pasti dapat meraih cita-citaku”
Saat kalimat itu pergi dan tak terdengar lagi oleh kedua telinga Azizah, ia segera berlari kerumahnya untuk menemui ibunya. Saat ia sampai dirumah, ia mendapati ibunya sedang menjahit tas sekolah Azizah yang sudah penuh dengan jahitan tangan ibunya karena jebol. Dengan perasaan khawatir yang menghantuinya, Azizah memberanikan diri untuk duduk berhadapan dengan ibunya. Sang ibupun menghentikan kegiatan menjahitnya dan melemparkan senyum termanisnya kepada sang anak.
“Kamu kenapa nak? Kok sepertinya ada satu hal yang sedang kamu fikirkan?”
Hening….
Azizah bingung ingin memulai pertanyaannya darimaha, ia khawatir akan membuat ibunya semakin kebingungan.
Azizah adalah seorang gadis yang baru saja duduk di bangku SMA kelas 1, ia dilahirkan oleh sebuah keluarga yang serba kekurangan. Sering sekali kendala yang ia dapatkan saat ia ingin belajar, ingin rasanya meminta uang kepada orang tuanya untuk membeli buku baru atau peralatan sekolah yang baru. Namun niatnya ia kurungkan dalam hati dan bersabar menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya.
“Kamu kenapa diam toh nak? Ada apa?”
Tegur sang ibu yang memcahkan keheningan dimalam hari.
“Anu bu…hhmm.. eh…..hmm.. gak jadi deh bu, topic pembicaraannya gak terlalu penting kok bu. Aku hanya ingin melihat ibu menjahit “
“Oh… mau ngomong itu saja kok repot nak”
Azizah hanya tersenyum, namu hatinya berkata bahwa ia ingin mengatakan semua isi hatinya tentang apa yang selama ini selalu muncul dalam fikirannya dan ingin sekali meminta kepastian kepasa ibunya apakah ia masih bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Azizah berlalu meninggalkan ibunya yang masih asyik menjahit. Azizah duduk di kasrunya sambil memeluk kedua lututnya seraya berfikir bahwa ia ingin mencari penghasilan sendiri agar tidak selalu bergantung pada penghasilan kedua orang tuanya yang ia anggap masih dibawah standar penghidupan yang layak. Ia berfikir keras pekerjaan apa yang ia dapat lakukan dan pekerjaan apa yang mau menerima dirinya, serta pekerjaan yang tidak terlalu membebankan dirinya serta tidak terlalu menyita waktu untuk belajar dan bersekolah. Ia meraih handphone yang tergeletak di meja butut sebelah kasurnya, walau ia memilik handphone yang ketinggalan jaman namun handphone itu adalah handphone kesukaannya, karena selain awet handphone itu adalah pemberian sahabatnya semasa ia masih duduk di bangku SMP.
Azizah mulai mencari lowongan pekerjaan yang mau menerima dirinya, berkali-kali ia cari namun tak satu lowongan pun yang persyaratannya tidak sesuai dengan keadaanya saat ini, lalu ia mulai mencari lowongan di Koran Koran bekas yang terkumpul banyak dirumahnya. Pekerjaan orang tua Azizah adalah pemulung,sehingga tidak heran bahwa banyak sekali barang bekas yang sudah tak terpakai lagi menggunung dirumahnya bahkan tak jarang sekali ia menemui buku yang masih layak digunakan dan barang-barang lainnya masih layak pula untuk digunakan.
Dengan telunjuk jari yang menunjuk huruf demi huruf yang tertulis dalam Koran tersebut dan dengan gerakan cepat membaca yang perncah ia pelajari disekolah, tak ada satu lowonganpun yang menerima tenaga kerja yang masih berumur 16 tahun tersebut. Betapa sedihnya ia bahwa ia tak dapat mendapatkan penghasilan sendiri. Lalu Azizah membantingkan diri di kasurnya, sambil berbaring ia memainkan handphone dan mencoba untuk membuka sosial media yang baru saja ia dapat yaitu facebook. Ia mulai menulis statud di akun facebook barunya.
“Mencari pekerjaan itu susah yah… apalagi buat anak yang berumur 16 tahun”
Tak lama dari pembuatan status tersebut, ia mendapati seorang wanita tua yang terlihat awet mudah mengomentari statusnya.
“kamu butuh pekerjaan dik?”
Dengan sigap Azizah segera mengetik balasan komentar tersebut.
“ia bu.. saya sangat butuh pekerjaan, apakah ibu tahu pekerjaan apa yang dapat lakukan ?dan pekerjaan apa yang mau menerima saya?”
Tak lama kemudian Azizah mendapat respon kembali dari ibu tersebut.
“ya tentu saya tahu pekerjaan apa yang dapat kamu lakukan dan pekerjaan apa yang mau menerima seorang gadis yang berumur 16 tahu”
Dengan perasaan girang dan kaget, Azizah segera bangkit dan duduk dikasurnya serta membalas dengan cepat komentar dari ibu tersebut.
“maaf, kalau saya boleh tau pekerjaan apa itu bu?”
Ternyata saat Azizah ingin membalas komentar tersebut, koneksi yang ia dapat sangat rendah sehingga membuat Azizah menunggu agak lama. Ternyata saat komentar tersebut baru dapat terkirim, ibu tersebut sedang off line.
“Yah…. Ibu itu off line. Akukan lagi penasaran, gara-gara koneksi lamban nih”
Dengan wajah cemburut Azizah membaringkan kembali tubuhnya. Sambil menatapi handphonenya ia mencoba sekali lagi untuk membuka facebooknya kembali, dan saat itu juga ia sudah mendapat balasan komentar dari ibu tersebut serta pesan satu buah pesan yang tak terduga olehnya.
Dengan sigap Azizah membalas komentar tersebut.
“baik bu.”
Lalu Azizah segera mengklik tulisan pesan yang tertera di layar handphonenya. Alangkah terkejutnya saat ia membaca pesan yang ia dapat. Ternyata pesan tersebut dari seorang ibu yang berkomentar pada statusnya tadi.
“hai nak, kamu katanya butuh pekerjaan ya? Kebetulan saya ada pekerjaan buat kamu nak dan kebetulan juga saya lagi nyari anak gadis berumur ya seusia kamu”
Tiba- tiba mata Azizah membersar dan melototi layar handphonenya dengan perasaan girang namun tak percaya juga. Dengan sigap Azizah mengetik dengan tangan yang gemetar.
Dengan perasaan yang girang, Azizah bangkit kembali dan berlompat-lompat dikasurnya. Ia lupa bahwa haris sudah tengah malam. Hingga kakak perempuan memarahinya karena teriak tak karuan.
“kamu kenapa sih dek, kok berisik banget. Kakak gak bisa konseterasi kalau kamu berteriak gak jelas seperti itu, kamu liatkan kakak sedang apa?”
“hehe… maaf kak, adek Cuma lagi girang aja kak”
“girang boleh saja tapi kamu harus bisa mengontrol emosi kamu dek, ini sudah tengah malam. Kalau bapak sama ibu kebangun karena suara teriakmu bagaimana?”
Sambil menundukan wajah, Azizah merasa menyesal karena sudah berteriak dan membuat konsenterasi kakaknya menjadi buyar oleh suaranya. Azizahpun duduk kembali dan melanjutkan obrolannya dengan wanita yang belum sama sekali Azizah ketahui asal usul wanita tersebut.
“aku sekolah di SMA SEJAHTERA BERSAMA, aku duduk dibangku kelas 1, aku tinggal di jl.dahlia 2”
“wah kebetulan sekali ibu sering lewat jalan itu, bagaimana kalau minggu depan kita ketemuan?”
“minggu depan? Baiklah bu”
***
“kamu gila ya Zah? Kamu baru masuk SMA kok udah pengen kerja? Lagian pekerjaan apa yang mau menerima gadis yang berumur 16 tahun? Kalaupun ada pasti itu pekerjaan yang gak bener Zah. Mending kamu jangan mau diajak ketemuan apa lagi kamu gak tau asal usul ibu tersebut? Kalau terjadi sesuatu diluar keinginan kamu bagaimana?”
Tanya Riska dengan mata terbelalak karena shock mendengar berita dari teman sebangkunya.
“Ssssttt… kamu ngomongnya janga terlalu kencang, bisa-bisa orang tau. Percaya aja deh sama aku, gak bakalan ada apa-apa yang diluar keinginan aku kok. Aku pasti baik-baik aja.”
“kok santai dan enteng sekali kamu menjawabnya? Memangnya kamu tuhan yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi kedepannya? Aku saranin jangan Zah jangan”
“tapi aku sangat butuh pekerjaan untuk biaya kuliahku nanti Ris”
“iya aku tahu itu Zah, tapi saat ini pekerjaan kamu itu Cuma belajar dan kalau masalah pendapatankan orang tua kamu yang ngurusin Zah”
Azizah hanya terdiam dan tak membalas perkataan teman sebangkunya, ia merasa jengkel dengan saran yang diberikan oleh kawan sebangkunya. Bahkan saran darinya pun tak satupun ia hiraukan.
Sepulang sekolah seperti biasa ia mengerjakan PRnya, saat ia mengerjakan PR hati kecil berkata bahwa ia tak usah datang menemui wanita tersebut. Namun ia tepis kata hati kecilnya dengan mengiming-imingi dirinya bahwa ia akan berpenghasilan hasil kerja kerasnya dan akan bisa meraih cita-citanya. Hati kecilnya selalu berkata hal yang sama hingga jatuh temponya perjanjian ia dengan wanita tersebut.
Sepulang sekolah,dengan perasaan yang girang dan ada rasa gugupnya ia menunggu wanita itu di sebuah kafe yang mewah, setelah lima belas menit menunggu wanita tersebut akhirnya wanita itu muncul dan menghampiri dirinya.
“hai kamu Azizahkan yang waktu di facebook bilang butuh pekerjaan?”
Dengan wajah memerah Azizah menjawab pertanyaan tersebut dengan suara yang gugup.
“i….i…..iya bu.. saya butuh pekerjaan bu”
Wanita itu melihat Azizah dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“kamu cantik, dan kamu memang cocok bekerja dipekerjaan ini, kamu saya terima sebagai karyawan saya”
Azizah begitu terkejut denga penerimaan dirinya sebagain karyawan.
“(dengan mata berkaca-kaca) terimkasih ibu atas penerimaannya”
Gadis itu menjabat tangan wanita itu dengan rasa yang amat sangat girang.
“baiklah,tidak apa-apa. Apakah kamu sudah membawa pakaian sesuai perjanjian kita sebelumnya?”
“iya bu, saya bawa. Tapi untuk apa ya bu?”
Tanpa basa basi wanita itu segera menggandeng gadis itu dan membawanya kesuatu tempat yang jauh. Jauh dari tempat ia tinggal dan bahkan daerah yang sangat asing baginya. Azizah tak berani bertanya apapun selama diperjalanan hingga ia tertidur didalam sebuah mobil yang mewah dan bersuhu dingin yang menyejukkan tubuhnya.
Alangkah terkejutnya saat Azizah terbangun dan mendapati dirinya sedang dalam keadaan tak berpakaian. Ia segera mencari tahu dimanakah ia saat ini dan hari sudah siang, saat ia sedang duduk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut ia mendapati seorang pria tua yang sedang memakai jaznya dengan tergesa-gesa dan menciumi pipi kanan Azizah.
“siapa kamu?!?! Dan dimana aku? Mengapa aku tak mengenakan pakaian? Apa yang telah terjadi denganku? Mengapa aku tak ingat apa-apa?”
“kamu saat ini berada di hotel dan kita baru saja melakukan hal yang menyenangkan semalaman”
“maksud anda apa?”
Lelaki itu menunjuk kepalanya seraha berkata
“kamu fikirkan saja sendiri, aku sibuk dan aku ingin segera pergi. Selamat tinggal dan senang bisa bermalaman dengan anda”
Saat lelaki itu pergi keluar dari kamar tersebut, Azizah berteriak sekenang kencang melampiaskan rasa kekecewaanya, dan segera menyerobot pakaiannya yang berserakan dilantai. Dengan gerakan yang cepat Azizah melangkahkan kakis seribu mencari wanita berhati busuk tersebut, dan saat ia berhasil menemukan wanita itu alangkah terkejutnya ia mendapati wanita itu sedang berbincang dengan seorang pria tua berhidung belang yang sedang memegang uang untuk diberikan kepada wanita tersebut.
Saat pria tersebut pergi, Azizah memukuli wanita itu seraya berkata
“wanita berahati busuk kau?!? Kau jual harga diriku demi mendapatkan uang?!?!”
Wanita itu tak mau kalah, ia menyuruh pengawalnya untuk memegangi gadis itu
“kan kamu sendiri yang bilang bahwa kamu butuh pekerjaan, dan inilah pekerjaanmu. Dan kamu harus menerimanya karena hanya pekerjaan inilah yang dapat kamu lakukan saat ini”
Selama diperjalanan Azizah hanya bisa menangis, menangisi hal sudah menimpa pada dirinya. Betapa menyesalnya ia karena tidak menghiarukan saran dari teman sebangkunya. Kini Azizah tidak memiliki keberanian untuk kembali kerumah dan bersekolah seperti sebelumnya.
05.52 | Label: Cerpen KKP | 0 Comments
#Cerpen "Rona dan Bunga"
RONA DAN BUNGA
(Nur Aini Octavia - X MIA 6)
Bunga selalu indah membawa harum di pagi hari, seolah tak terlupakan oleh seorang gadis kecil bernama Rona, pagi nya selalu indah.. penuh dengan keceriaan, tawa, suka dan segala keindahan.
"hay Ayahh..", sapaan lembut seorang Rona
"iya Rona, Ayah menunggu mu sejak tadi". (mengelus kepala Rona yang tertutup jilbab)
"iya yah, maafkan aku membuat Ayah menunggu lama", jawab Rona.
"yasudah, tak apa. sekarang kita harus cepat jalan, let's go !!".
---○○○---
"kamu kenapa Rona?", tanya ayah cemas.
"aku tak apa, aku hanya rindu pergi kesekolah, dibawakan bekal oleh Bunda, aku merindukan bunda yaah dan aku juga ingin sekolah ".
"iya Rona, Ayah menunggu mu sejak tadi". (mengelus kepala Rona yang tertutup jilbab)
"iya yah, maafkan aku membuat Ayah menunggu lama", jawab Rona.
"yasudah, tak apa. sekarang kita harus cepat jalan, let's go !!".
Mereka pun berjalan ke suatu tempat dengan banyak taman yang di penuhi bunga-bunga yang amat sangat cantik dan indah. Mereka pergi ke tempat itu bukan hanya menikmati pemandangan alam saja tetapi lebih tepat nya mereka harus menyelesaikan misi, ya.. mempercantik halaman di taman agar semua orang tertarik melihat nya, sama seperti Rona yang tak pernah bosan melihat hasil karya Sang Pencipta.
Ayah Rona hanya bekerja sebagai pembersih taman yang cukup luas, namun hasil yang ia dapat tak banyak, hingga akhir nya Rona pun berhenti sekolah karena Ayah nya tak mampu lagi membiayai segala keperluan nya di sekolah, awal nya Rona merasa sedih.. ia masih ingin belajar, namun ayah nya berkata pada nya, "keinginan mu memang suatu kebaikan, belajar tidak hanya di sekolah, tapi kapan pun kamu mau berusaha dan berdoa, kamu dapat menemukan guru mu, ya.. guru yang memberi pelajaran berharga untuk mu".
Memang bukan suatu pemahaman yang panjang dan memakan waktu, tapi ucapan itu sangat menyentuh hati seorang gadis berumur 10 tahun, ya masih terlalu muda untuk mengerti, seorang anak yang mempunyai semangat untuk menuntut ilmu, kini harus belajar menerima kenyataan hidup yang begitu pahit untuk nya.
Tapi kepahitan tak berarti lagi, ketika iya menemukan berjuta warna yg penuh kecerahan, hati nya pun terbuka.. bagai bunga yang memekar, mungkin memang berjuta warna itu bukan milik nya, tapi pada kenyataan nya warna yang berjuta-juta itu telah sang pencipta gariskan untuk Rona, hingga dia bisa menikmati keindahan dari berjuta warna itu.
---○○○---
Suatu ketika Rona melihat teman sekolah nya yang lalu, teman nya itu ingin berangkat ke sekolah, Rona sedikit merasa iri, hanya sedikit saja. namun entah mengapa dia menjadi termenung dan menyendiri.
"aku tak apa, aku hanya rindu pergi kesekolah, dibawakan bekal oleh Bunda, aku merindukan bunda yaah dan aku juga ingin sekolah ".
air mata nya pun jatuh di pipi yang menggemaskan itu, ia pun memeluk erat Ayah nya, mungkin tak sanggup ia simpan semua kepedihan nya selama ini. Hati yang selama ini penuh warna keceriaan, kini pun menjadi gelap tak berarti.
Ternyata ia menyimpan luka dalam ceria nya..
menyimpan tawa dalam tangis nya..
menyimpan kepedihan di balik senyum nya..
dan ia pun menyimpan kerinduan dalam tegar nya..
dalam kuat nya.. dan kepolosan nya.
Hari itu Ayah pun tak bicara sepatah kata pun, ia membiarkan Rona melepaskan semua sesak yang selama ini ia pendam, Ayah nya pun hanya memeluk erat putri tercinta nya.
---○○○---
menyimpan kepedihan di balik senyum nya..
dan ia pun menyimpan kerinduan dalam tegar nya..
dalam kuat nya.. dan kepolosan nya.
Hari itu Ayah pun tak bicara sepatah kata pun, ia membiarkan Rona melepaskan semua sesak yang selama ini ia pendam, Ayah nya pun hanya memeluk erat putri tercinta nya.
---○○○---
Sama seperti bunga.. ada saat nya layu namun masih dapat tumbuh lagi pucuk bunga yang baru, kepedihan yang telah berlalu kini berganti lagi dengan wajah yang memancarkan keceriaan, begitulah semangat seorang Rona, saat semangat nya mulai padam, namun selalu tumbuh semangat baru di pagi hari, seolah pagi memberikan senyum nya untuk Rona.
"la..la..la..la.. hmm.. hmm.. (Rona pun bersenandung sambil memotong tanaman yang layu).
Tiba-tiba saat mereka sedang asyik mengerjakan tugas, ada seorang yang menghampiri Rona, Rona pun terkejut karena jarang sekali orang menhampiri nya saat sedang memotong tanaman yang layu.
"assalamu'alaikum nak, bolehkah Bapak bertanya sesuatu?",
sapa seorang lelaki separuh baya.
"wa'alaikum salam, iya boleh pak, mau bertanya apa?", jawab rona dengan sopan.
"kamu sedang apa di sini? seperti nya kamu sangat menyukai bunga-bunga di sini?".
"aku sedang membantu Ayah..
iya aku sangat suka, tapi aku tidak bisa memetik dan membawa nya pulang ke rumah, karena
jika aku membawa nya Ayah akan di marahi oleh pemilik taman ini", dengan polos nya Rona menyatakan keinginan nya.
"memang nya kamu tidak sekolah?".
"hmm.. aku sangat ingin sekolah dan belajar, tapi Ayah bilang aku bisa belajar dan menemukan guru ku dengan doa & usaha", jawab rona sedikit termenung.
"ohh.. yasudah tak apa :)
memang nya bunga ini untuk siapa jika kamu boleh memetik nya?", tanya Bapak itu lagi.
"aku mau memberi nya pada bunda, bunga ini sangat cantik sama seperti bunda ku", Rona pun menjawab sambil menunjukkan senyum nya.
(dalam hati lelaki separuh baya itu pun berbicara)
"subhanallah, gadis kecil ini begitu semangat membantu Ayah nya bekerja, seakan tak punya beban, sangat ikhlas menjalani apa yang allah beri saat ini, menikmati nya dengan bersyukur, tak sama dengan anak sebaya nya, yang kebanyakan ingin bermain.. tapi belajar menjadi keinginan nya dan hanya ingin memberi bunga kepada ibunda nya, sungguh suatu kepolosan yang menunjukkan kesederhanaan nya".
Tiba-tiba Ayah Rona pun menghampiri mereka, ia sangat terkejut melihat anak nya berbincang dengan seorang yang penting tentang taman ini.
"Ayaaahh.." panggil Rona sambil memeluk pinggang Ayah nya.
"iya nak, sebentar ya Ayah ingin bicara,
assalamu'alaikum pak, sejak kapan datang?" tanya ayah rona pada bapak itu.
"wa'alaikum salam, baru pagi ini.. ternyata saya lihat ada gadis kecil, apa yang ia lakukan di sini, ia putri mu?".
"iya, ini putri saya.. saya minta maaf karena tidak bicara tentang rona, awal nya ia hanya ikut saya bekerja namun dia memaksa untuk membantu, saya pun juga tak tega membiarkan nya sendiri di rumah tak melakukan apa-apa, bunda nya sudah 6 bulan lalu sakit parah, dan akhirnya meninggalkan kami berdua", jawab nya dengan raut wajah yang penuh kepedihan.
Bapak separuh baya itu adalah pemilik semua taman tempat mereka bekerja, ia pun hanya terdiam dan menatap wajah Rona yang masih sangat polos, untuk menerima kenyataan pahit ini. Ia sangat tersentuh dengan penjelasan yang Ayah Rona beri.
kamu mau tidak memetik bunga di sini bersama Bapak?".
"lho memang nya boleh pak?", dengan ragu iya pun menatap Ayah nya.
(Ayah nya pun hanya mengangguk tanda mengiyakan)
"horeeee.. iya aku mau sekali, itu bunga yang itu aku sangat ingin, apa boleh? dan yang di sana, apa juga boleh ku petik?".
"iya boleh Rona", jawab Bapak pemilik taman.
"iya boleh Rona", jawab Bapak pemilik taman.
"terimakasih banyak pak, yeeeyy.. aku bisa memberi nya pada Bunda, Ayah besok kita ke rumah Bunda ya".
(Ayah rona tersenyum begitu senang melihat keceriaan rona sekarang bertambah, 10 kali lipat dari sebelum nya)
---○○○---
(Ayah rona tersenyum begitu senang melihat keceriaan rona sekarang bertambah, 10 kali lipat dari sebelum nya)
---○○○---
Saat Rona sedang asik memetik bunga, pemilik taman itu berbicara pada Ayah Rona.
"saya begitu tersentuh, dari gadis kecil itu saya mendapat pelajaran berharga, bahwa kesederhanaan menjadikan semua terlihat indah, putri mu menjadi guru saya hari ini, jika boleh saya sangat ingin membiayai sekolah nya", dengan penuh harap agar Ayah Rona mau.
"wah terimakasih banyak pak, saya tidak ingin merepotkan siapapun".
"tidak, justru saya senang membantu, jika kamu menolak apa kamu tidak ingin mewujudkan keinginan nya?".
(keinginan Rona sangat penting bagi ayah Rona)
"baiklah pak, terimaksih banyak.. saya tidak tahu cara membalas jasa Bapak, sekali lagi terimakasih pak".
"iya, jaga terus didikan mu yang baik itu".
Akhir nya pun Rona bisa bersekolah kembali, dan kapan pun Rona mau bunga untuk sang unda, Bapak pemilik taman itu selalu memberi.. Rona pun bahagia dengan hidup nya yang dengan penuh kesederhanaan itu, karena kesederhanaan bagi Rona dan Ayah nya adalah suatu keindahan yang sangat berharga.
05.31 | Label: Cerpen KKP | 0 Comments
#Cerpen "Cerpen Agustus"
CERPEN AGUSTUS
(Aghnia Nada Sabira - XI MIA 4)
Pada sebuah tanah terlupakan, di pinggiran kota yang tak signifikan, mengakarlah sebuah pohon raksasa. Ia, yang terdiam menyaksikan sang waktu terus bergerak hingga ia tak tahu lagi apakah waktu itu cepat? Ataukah ia lambat? Namun, sang pohon tak peduli. Ia sedang terpesona. Sebuah kehidupan baru saja terlahir di salah satu daunnya.
"Halo, makhluk kecil," sapanya, dalam bahasa alam, yang bisa menyampaikan gambaran dan perasaan, bahasa yang hanya dimengerti pohon dan para serangga. Makhluk itu, alih-alih menjawab, mulai menggerogoti daun sang pohon tua. Hari-hari berlalu, dan makhluk itu bertambah berat dan lebar. Menggerogoti daun-daun sang pohon. Namun sang pohon tak peduli.
"Mengapa pohon-pohon lain diam?" Tanya makhluk kecil itu suatu hari, pertama kalinya ia bicara.
"Mereka belum hidup cukup lama untuk sadar mereka hidup," jawab sang pohon.
"Bagaimana denganku? Aku lebih muda dari mereka," tukas makhluk kecil itu. Sang pohon tak menjawab. Ah, benar. Makhluk-makhluk, yang bukan pepohonan atau rumput atau lumut, 'hidup' dari saat mereka lahir. Sebersit iri menghinggapinya, yang baru menyadari kehidupan beberapa tahun lalu. Namun ia tak peduli. Kesukaannya pada makhluk kecil itu lebih besar.
"Mengapa aku tak melihat pohon-pohon yang bisa bicara, Pohon?" tanya makhluk itu lagi.
"Alam membunuh mereka. Atau manusia."
"Manusia?"
"Alam membunuh mereka. Atau manusia."
"Manusia?"
"Ya," jawab sang Pohon. Pikirannya melayang pada anak-anak manusia yang dulu suka bermain di sekitarnya. Dan salah satu dari mereka. Yang selalu ingin ia temui lagi. "Mereka kaum yang tak suka matahari. Biar kunamai kau Anina, seperti satu manusia yang suka mematahkan dahanku dan menanamnya lagi agar menjadi pohon baru."
"Apakah aku akan berubah, Pohon?" sela makhluk kecil itu, yang kini namanya Anina. Pohon itu terdiam. Ia tak dapat mengingat apapun sebelum ia 'hidup', dan ia telah terlampau tua hingga telah lama tak ada lagi yang menelurkan kehidupan di daun-daunnya.
"Aku melihat, Pohon, bahwa ulat-ulat akan menjadi kaku seperti kayu, dan berubah menjadi kupu-kupu," sambung Anina.
"Aku tahu kupu-kupu," bisik Pohon. "Mereka makhluk kecil yang indah, mengusap ujung-ujung rantingku dimana bunga dulunya tumbuh, kemudian pergi."
"Kemudian mereka akan mati begitu saja," kata si ulat getir. Pohon itu terdiam. Anina akan meninggalkannya. Pergi kemanapun ia suka. Dan melihat dunia. Hanya dalam kurun waktu beberapa hari ia hidup. Sementara ia, sang pohon, hanya terdiam dan menunggu selamanya. Menunggu entah apa. Ia iri, namun kesedihannya bahwa makhluk kecil itu akan meninggalkannya mengalahkan hal itu.
"Tak apa," hibur sang pohon. "Setidaknya kau akan melihat dunia. Kau akan tahu lebih dariku, yang telah hidup jauh lebih lama darimu." Anina terdiam. Ia tak ingin mati. Kesedihan dan ketakutannya menyengat sang pohon, yang merasakannya tanpa Anina perlu mengucapkan apapun.
Kemudian, seperti yang sudah diperkirakan Anina, ia menjadi kepompong tak lama berselang.
"Anina, beberapa manusia pindah kemari," bisik sang pohon. Anina tak menjawab. Entah ia bisa mendengarnya atau tidak.
Esoknya, sang pohon berbisik lagi. "Anina, manusia bernama Anina itu kembali! Aku bisa merasakan jiwanya saat ia berteduh di bawahku."
Tak ada jawaban, biarpun sang pohon bicara pada Anina setiap hari, melaporkan setiap pergerakan manusia bernama Anina yang bersama kawan-kawannya mulai merobohkan dan merapikan bangunan-bangunan reyot di sekitar mereka, lalu tiap hari akan menatap sang pohon sejenak. Hingga hari ketiga belas. Pohon itu, untuk pertama kalinya, bermimpi. Sebuah tempat yang terang. Tak panas dan tak dingin. Sebuah sosok yang abstrak ada di sana, namun sang pohon bisa mengenalinya sebagai Anina.
"Aku tak ingin melihat dunia, Pohon," Anina berkata. "Semua kupu-kupu yang menghampiri mimpiku berkata manusia terlalu jahat untuk disaksikan."
"Bukankah setiap hari telah kuberi tahu kau tentang Anina, manusia yang baik hati?" Protes sang pohon. Anina tak sepakat. Ia diam.
"Tapi aku juga tak ingin mati," sambung Anina setelah beberapa lama.
Pohon itu terdiam. Ia begitu menginginkan melihat dunia. Menghampiri Anina manusia yang baik hati, biar ia buktikan bahwa Anina memang baik hati. Ia ingin menghibur Anina ulat, namun ia tak tahu rasanya takut pada kematian.
"Maukah kau bertukar denganku?" Tanya Anina tiba-tiba.
Kemudian mimpi itu berakhir. Pohon merasakan kehidupan memgaliri sekujur tubuhnya. Ah, ia telah terbangun--dan ia bisa bergerak! Ia menggeliat, dan seberkas cahaya muncul lalu mulai merekah-- Ia kini kupu-kupu! Kupu-kupu itu merangkak keluar, hinggap di batangnya. Ia bisa melihat dunia- begitu berwarna, begitu indah. Dan tubuh lamanya, dimana kini jiwa Anina mendekam.
"Aku merasakan ketenangan," bisikan yang jelas milik Anina itu mencapainya.
"Aku merasakan kehidupan," jawab pohon yang kini kupu-kupu.
"Terimakasih," mereka berdua berkata bersamaan.
"Kita akan bertemu lagi," kata Anina. Si kupu-kupu merentangkan sayapnya. Entah kenapa ia tahu bahwa mereka akan bertemu lagi.
"Aku merasakan kehidupan," jawab pohon yang kini kupu-kupu.
"Terimakasih," mereka berdua berkata bersamaan.
"Kita akan bertemu lagi," kata Anina. Si kupu-kupu merentangkan sayapnya. Entah kenapa ia tahu bahwa mereka akan bertemu lagi.
"Ya," jawabnya, bahagia. "Sampai jumpa lagi."
Kupu-kupu meninggalkan Anina. Ia merentangkan sayapnya dan akhirnya merasakan kebebasan untuk pertama kalinya. Ah, Anina manusia! Ia sedang bicara pada kawan-kawannya, seraya menunjuk tubuh lama si kupu-kupu. Kupu-kupu itu gembira. Anina sedang membicarakannya! Ia memutuskan untuk hinggap di bahu Anina, menyapanya. Namun Anina bukan lagi anak perempuan yang mencintai alam.
"Ah! Serangga!" Jeritnya seraya menepis si kupu-kupu.
Si kupu-kupu terlempar, oleng, kemudian jatuh ke tanah. Mati. Anina, manusia itu, terdiam setelah menepis si kupu-kupu. Ia jatuh ke tanah, pingsan. Kawan-kawannya panik dan melarikan ia ke rumah sakit, namun dokter tak tahu apa yang salah dengan dirinya. Tak lama, Anina pohon ditebang. Orang yang pertama menyentuhnya, salah satu kawan Anina manusia, jatuh pingsan seperti Anina manusia. Bahkan itupun tak menghentikan penebangan. Dua minggu kemudian mereka berdua terbangun, bersebelahan, di bawah temaramnya lampu rumah sakit.
"Anina," kata Anina, air mata mengaliri pipinya. "Kita memang bertemu lagi. Rupanya kau benar tentang manusia. Bahkan Anina pun tak baik hati."
"Tidak lagi," sahut yang diajak bicara. "Kau dan aku sekarang manusia. Biar kita buktikan, bahwa Anina selalu baik."
Esoknya, Anina dan kawannya menghilang. Seorang kawan mereka yang lain melihat keduanya lama kemudian, jauh, jauh di ujung dunia. Tersenyum, menyatakan Anina yang baik hati.
05.21 | Label: Cerpen KKP | 0 Comments
#Cerpen "Terakhir "
TERAKHIR
(Navany Bilqist - X MIA 5)
Dion berjalan menyusuri koridor tanpa banyak bicara. Suara sepatunya berdetak di lantai, mengantarkan sebuah keributan yang amat sangat di koridor sepi itu. Tangan kanannya membawa sebuket bunga untuk diantarkan kepada salah satu pasiennya. Jas putihnya melayang-layang mengikuti pergerakannya yang cepat. Dion menghentikan langkahnya tepat di depan kamar nomor 96. Memutar kenop pintu secara perlahan lalu menutup kembali pintu oak itu tanpa suara.
Tirai jendela yang menghalangi sinar matahari yang keemasan itu membuat penerangan di dalamnya sedikit remang. Sosok Radit, adiknya yang terbaring lemah dengan berbagai macam selang infus di tangannya membuat Dion tersenyum getir. Dion berjalan menghampiri ranjang itu. Menaruh sebuket bunga yang dibawanya di atas meja kecil. Kedua mata Radit terlihat lemah membuat Dion sedikit meringis melihat keadaannya.
Bola mata hitam itu tak bersinar lagi layaknya seperti dulu. Tak ada lagi senyum manisnya yang selalu terulas rapi di wajahnya. Rambut pendek hitamnya telah hilang entah kemana. Tubuhnya yang kurus dan tak bertenaga membuat Dion kembali tersenyum getir.
"Kak...." Radit memanggilnya pelan.
"Kakak di sini," jawab Dion lembut seraya mengenggam erat tangan porselen kurus adiknya.
"Jika aku sembuh, bolehkah aku bermain sepak bola dengan kakak di luar?"
"Dengan senang hati."
"Aku bosan di sini, Kak."
Aku tahu itu.
"Aku ingin menghirup udara di luar bersama Kakak. Bermain sepak bola bersama. Berlari bersama, seperti dulu...,"
Aku juga.
"Tapi, bisakah aku seperti dulu lagi? Berjalan kembali tanpa kursi roda. Menelan makananku tanpa menggunakan infus menyakitkan ini. Tertawa sepuasku tanpa harus merasakan sakit. Bisakah aku seperti itu kembali, Kak?"
"Kurasa Kakak bohong." Radit mendesah kecewa.
Kedua alis Dion saling bertautan, "kenapa bisa begitu?"
"Kakak tersenyum karena kakak tak bisa menjawab pertanyaanku. Hati kecil kakak gundah karena kemungkinanku hidup hanya tiga persen dari sembilan puluh tujuh persen lainnya. Hati kecil kakak bingung, entah apa yang harus kakak jawab. Pikiran kakak memerintah kakak untuk tersenyum sebaik mungkin di depanku. Tapi, senyuman itu bukanlah senyuman penyemangat yang kulihat, melainkan senyuman kesedihan yang ditutupi oleh kebohongan dan kebodohan. Kakak salah!" tutur Radit pelan seraya memalingkan pandangannya ke tirai jendela yang menghalangi sinar matahari menerpa ranjangnya.
"Maaf," jawab Dion singkat. Mungkin jika Radit memperhatikan dengan seksama wajah Dion, kedua bola matanya tengah berjuang menahan air mata.
Radit tersenyum miring. "Tak perlu minta maaf. Sekarang pergilah! Kakak ke sini hanya untuk mengantarkan sebuket bunga itu untukku 'kan?"
Dion tersenyum tipis dan mengangguk samar. Derap langkah kakinya yang menggema mengiringi tangisan penyesalan Radit pada sang kakak, Dion.
Maafkan aku, Kak. Aku minta maaf....
Langkah Dion yang teratur menapaki lantai keramik itu terdengar lirih. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, wajar jika lorong di lantai tiga ini terlihat lenggang. Hanya ada beberapa suster yang masih berlalu lalang untuk menjaga pasien. Tugas Dion kini telah selesai. Ia melewati beberapa nomor kamar dengan langkahnya yang panjang. Kamar tiap kamar ia lewati dengan cepat. Langkah Dion semakin melambat lalu berhenti. Ditatapnya pintu oak dengan papan kecil hitam bertuliskan nomor 96 itu. Langkah Dion mengantarkannya masuk ke dalam ruang sunyi itu. Kedua bola mata Dion meredup. Ditutupnya perlahan pintu oak tersebut.
Tirai jendela yang selalu menghalangi garis-garis sinar keemasan matahari itu kini terbuka lebar. Dion tak lagi tersenyum getir setiap ia memasuki ruangan ini. Dion tak lagi membawa sebuket bunga atau sekeranjang buah-buahan guna kesembuhan pasiennya itu. Dion tak lagi menemukan bola matanya yang sudah sirna sinarnya. Dion tak lagi menemukan sosok laki-laki yang selalu terbaring lemah di atas ranjangnya yang putih. Dion tak lagi mendengar suara lirihannya yang selalu menyebut namanya ketika Dion memasuki ruangan ini. Dion tak lagi menangis dalam diam ketika mendengar suara kesakitan darinya yang memekakkan telinga. Kini, Dion sendiri tanpa tujuan untuk sekedar bertemu dengannya. Adiknya yang ia sayangi---
Kini telah tiada---
Aroma tubuhnya masih tersisa hingga Dion dapat merasakan kehadirannya di sini. Senyumannya yang tulus membuat Dion nyaman akannya.
"Jika aku sembuh, bolehkah aku bermain sepak bola dengan Kakak di luar? Aku bosan di sini, Kak. Aku ingin menghirup udara luar bersama Kakak. Bermain sepak bola bersama. Berlari bersama, seperti dulu. Tapi, bisakah aku seperti dulu lagi? Berjalan kembali tanpa kursi roda. Menelan makananku tanpa menggunakan infus menyakitkan ini. Tertawa sepuasku tanpa harus merasakan sakit. Bisakah aku seperti itu kembali, Kak?"
Tertawa bersamaku?
Bermain bersamaku?
Berlari bersama?
Menunggu senja sore dengan keringat yang membanjiri tubuh kita?
Bertengkar dan memukulku?
Bisakah kau seperti itu lagi?
Bisakah kau kembali ke dunia ini tanpa harus aku merasakan kesepian karenamu?
Bisakah kau kembali, Adikku?
Sekedar bertemu dan memelukmu?
Memarahimu karena meninggalkanku sendiri?
Mungkinkah kita akan bertemu di dalam mimpi?
Mungkinkah?
Kuharap seperti itu...
Kini Dion pun menangis....
05.05 | Label: Cerpen KKP | 0 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Kami
O.W.L

Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL