#Cerpen: "Anna & Aspen: He is commander, She is hero"
Anna & Aspen: He is commander, She is hero
(Afifah Nurul Karimah - XI MIA 2)
(Anna)
Garis-garis di bawah matanya nampak seperti polesan yang tangguh, tidak membuat ketampanannya luntur sedikitpun. Matanya lurus menatap ke depan, sosoknya berani menyongsong seluruh laksana penjuru, pasti di dalam hatinya tujunya hanya satu memperjuangkan tanah Port. Tanpa ada ketakutan akan mati yang selalu meghantui.
Ia bergerak tegap ke depan, langkahnya sejajar lurus arah vertikal. Suaranya lantang, menembus telinga siapapun yang mendengarnya. Meneriakkan pelurusan barisan para pejuang yang tengah berdiri tegak di atas hamparan batu-batu kerikil bertabur pasir, tepat di depannya membentang gunungan-gunungan gerak gelombang laut yang mengirimkan seruan harapan para bangsa Port.
Aspen, tak pernah sekalipun aku tidak mengingat namanya. Ia selalu menjadi bayang-bayang di kehidupanku selama dekade ini, tepatnya saat semua kondisi Port berubah, Port yang dulu tentram, kini terjajah. Semua yang berumur muda, seperti kami diharuskan tanpa pamrih mengabdi untuk bangsa Port. Dia, Aspen, sebagai panglima angkatan pemuda-pemudi kami. Dialah, Aspen, yang terkenal gagah berani. Dialah, Aspen, yang selalu dipuja, yang seluruh penjuru kota tau siapa dia. Dialah, Aspen yang pasti semua wanita takluk kepadanya.
“Panglima Aspen!” Aku mengangkat tanganku tinggi, menatapnya, berseru kepadanya. Kepadanya, yang selama ini lelaki yang selalu ku elukan terpendam dalam hatiku. Ia menjadi satu-satunya pemicu kobaran semangatku. Hanya satu ketakutanku, aku amat tidak ingin dia mati.
Ia melangkah, matanya kini fokus menatapku. Menghormati setiap siapapun yang ingin berbicara.
“Ada apa, Anna?”
Aku menghela nafas dalam-dalam, aku harus berani berpendapat, setidaknya ia tahu bahwa aku tidak hanya sekedar bekerja, tetapi aku peduli pada bangsa ini.
“Mereka pasti akan menyergap kita, sebentar lagi, beberapa hari lagi. Kita harus menyiapkan strategi yang matang dengan cepat.”
Aspen melangkah mendekat kepadaku. “Anna, terimakasih atas pendapatmu. Maka, kami akan segera melakukan itu, menyusun strategi sesegera mungkin.”
Aspen bergidik, dia kembali menuju depan dimana ia memimpin barisan. Ia berseru agar kami kembali ke pos masing-masing untuk beristirahat. Matahari sudah terbenam, dan esok pagi akan menjadi hari yang sibuk. Tetapi sungguh, malam ini, hasratku menggebu untuk dapat mendapatkan momen bersamanya. Setidaknya, hanya mendengar suaranya lebih dekat lagi.
—-
Aku tidak bisa tidur sama sekali, beberapa kali aku memejamkan mataku, hanya semakin memperburuk bayangan-bayangan dalam otakku, semuanya menakutkan. Aku memutuskan untuk mencari udara di luar, yang memuaskan adalah pos kami berada di sekitar laut. Aku sangat menyukai laut, semilir anginnya yang juara menyenangkan hatiku. Aku duduk menyelonjorkan kakiku di atas pasir laut yang masih putih, rambutku yang panjang melambai-lambai diajak menari oleh angin. Aku terdiam membisu, pikiranku berusaha kosong, tetapi tidak bisa, semakin hari, hati dan otakku semakin tidak akur, yang hanya menang adalah segala ketakutanku. Ketakutanku tentang dia yang akan mati.
Suara derap kaki orang melangkah mendekat, aku tidak berusaha mencoba mencari tahu siapa yang datang. Aku sudah terlalu pusing malam itu, biarkanlah hatiku tenang terlebih dahulu.
Kaki itu semakin dekat, aku tahu orang itu telah sampai dan tengah berdiri di belakangku. Aku bergeming, tidak berusaha menengok. Sampai, orang itu yang sedang berada tepat di belakangku memanggilku.
“Anna..” Ia pelan memanggilku. Aku mengenali suaranya. Segera, aku menengok ke belakang memastikan.
Benarkah itu Aspen? Aspen mendatangiku, malam-malam begini. Di saat hatiku sedang menggundahkannya, dia datang.
“A…as..aspen?” Aku sedikit terbata-bata, benar masih kaget.
“Sedang apa kau malam-malam disini? Ini waktu istirahat, lagipula kau perempuan, tidak baik tidak tidur malam-malam begini.”
Aku membuat keheningan sejenak. Gemetar, tidak tentu, aku benar-benar, aku tidak tahu, aku menyukainya.
“Hm…ya, terimakasih, Panglima Aspen telah mengingatkan. Tetapi, aku benar-benar tidak bisa tidur. Jadi, aku memutuskan untuk ke luar. Panglima sendiri, bukankah sebaiknya panglima tidur?”
Panglima Aspen mengalihkan pandangannya dariku. Tetapi, ia tetap berusaha menghormatiku dengan menjawab pertanyaanku.
“Sudahlah, masuklah ke dalam. Segeralah tidur, besok kami semua harus bersiap.”
Aku mengangguk samar, sedikit tersenyum membalasnya. Aspen tetap dengan wibawanya.
—-
“Segerakan semua yang harus disiapkan! Kita harus cepat, mereka sedang dalam perjalanan untuk menyerang pos-pos! Cepaaaat!” Teriak Panglima Aspen kepada seluruh pasukan pemuda yang tengah sibuk mempersiapkan segala halnya.
Pasukan dari negeri seberang, merekalah musuh di balik selimut. Benar-benar tidak tahu malu, serakah, mereka hanya menginginkan kekuasaan, sudah banyak keluarga kami yang mati bertumpah darah karena keserakahan mereka. Mereka sekarang ingin menghancurkan pos-pos kami, apa mereka belum puas dengan mengambil semua kebahagiaan keluarga-keluarga bangsa Port?
Kobaran semangat membara ke seluruh penjuru Port, kami semua yang tengah melindungi pos-pos kami, yang kami tidak akan pernah sudi, mereka menghancurkannya. Semua sibuk mempersiapkan persenjataan, mengemas logistik untuk persiapan perang, dan menyelamatkan barang-barang berharga lainnya. Aku menggendong anak-anak panahku di punggungku. Yang lainnya, ada pula yang tengah sigap dengan pedang di pinggangnya, yang lain lagi dengan pistol yang tersembunyi di balik belakang punggung. Aspen selalu dengan pedang saktinya, pedang yang membawanya menjadi panglima, sudah berapa musuh kami yang terbunuh oleh pedangnya.
“Panglima, mereka sudah di utara menuju pos. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Panglima?” Salah satu dari pasukan pemuda memberikan kabar terkini kepada Aspen. Kabar yang buruk, karena mereka sudah hampir dekat dengan pos kami.
Aspen bersikap tenang tetapi tetap waspada. Ia dengan cepat memerintahkan kami semua agar berkumpul membuat barisan. Ia berbicara dengan lantang.
“Sekian lama berbulan-bulan tidak ada pertumpahan darah. Hari ini akan ada pertumpahan darah. Bagaimanapun juga, kita harus siap. Hidup ataupun mati. Jangan sampai mereka menghancurkan pos pertahanan kita. Percayalah, bahwa kita mampu. Bersiaplah!”
Semua berseru mengikrarkan siap untuk hari pertumpahan darah ini. Aku bahkan tidak mampu untuk sekedar berkata siap untuk hari yang ternyata akan datang di hari itu, ketakutanku sampai pada puncaknya. Aku gemetar hebat. Aku berdiri terdiam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku bukan takut karena mati yang akan menyerang siapapun, tetapi aku takut, aku benar-benar takut apabila Panglima Aspen mati, meninggalkan kami semua tanpa dipimpin olehnya
Apa yang harus aku lakukan?
Aku memejamkan mataku, mengingat segala memori yang tertanam dalam otakku. Aku berbisik.
“Aku rela mati untuknya, dan untuk Port.”
—-
Pertumpahan darah benar-benar terjadi, bukan hanya prediksi. Ini nyata. Negeri seberang yang kejam mengerahkan seluruh kekuatannya, pasukan mereka lebih banyak dari kami, namun itu tidak akan meruntuhkan semangat dan optimisme kami. Kami percaya pada pedoman kami, berpegang pada prinsip kami, dan akan tetap terus berjuang sampai mati menjemput. Mereka lebih banyak menggunakan pistol-pistol besar dengan tipe-tipe teratas yang jika dibandingkan dengan pistol-pistol kami jauh menang mereka.
Tetapi, aku tidak pernah tidak percaya dengan anak-anak panahku. Anak-anak panahku tidak pernah mengkhianatiku. Seperti, Panglima Aspen mempercayai pedangnya.
Dengan segala keyakinan hati, aku memanjatkan ikrar tertinggi dalam benakku, aku siap berperang dengan anak-anak panahku hingga aku mati. Tetapi, asalkan Panglima Aspen tetap hidup. Aku mengambil sigap satu anak panahku di belakang punggungku. Siap ku lecutkan pada siapapun musuh yang mendekatiku. Aku berjalan waspada, diantara orang-orang yang sibuk dengan lawannya. Ada yang sudah terjatuh di tanah, mereka yang sudah mati. Tetapi, selama aku berjalan belum kutemukan pasukan pemuda yang terkapar di tanah tak sadarkan diri. Ini menambah keberanianku.
Aku menemukan sasaranku, musuh itu mendekatiku memperhatikanku yang sedang memegang teguh panahku. Ia dengan pistolnya, mengikuti gerakanku, seakan-akan berhati-hati dengan kecolongan yang kadang merasuki. Aku tetap fokus, menatap mata musuh itu lekat-lekat. Sedetik kemudian, aku hempaskan anak panahku tepat di jantungnya. Dia jatuh ke tanah, matanya terbelalak tanpa bernafas lagi.
Aku berhasil membunuhnya. Memang bukan sebuah kebanggaan, bahkan aku sebenarnya tidak ingin membunuhnya. Tetapi, ini demi sebuah kemerdekaan yang dirampas oleh mereka. Aku berhak membunuhnya.
Satu persatu mati tergeletak di tanah, semakin banyak, semakin tidak bisa dihitung oleh jari saja. Anak panahku berlumurkan darah dari setiap musuh yang berbeda-beda, baunya busuk, bau darah penjajah. Namun, juga tidak sedikit karib-karib pasukan pemuda yang juga telah menjemput ajalnya. Aku berjalan tak sadarkan air mataku terjatuh, mataku tidak berhenti mencarinya. Dimanakah Panglima Aspen? Aku harus segera melindunginya.
Panglima Aspen, itu dia tengah bertarung melawan pemimpin pasukan musuh. Aku berhati-hati, mencoba dengan cermat mengenali gerak-gerik lawannya tersebut. Aku memperhatikan di balik semak-semak, bersembunyi gerilya. Mataku benar-benar tidak berpaling, mengawasi sekitar.
Hingga mataku menangkap sesuatu yang hampir-hampir saja membuat aliran darahku seakan-akan berhenti, detak jantungku merangsangku untuk melompat, dan kantung air mataku tiba-tiba saja seperti berat membendung air bah yang segera mengajak turun. Ada seseorang yang tak dikenal di belakang Panglima Aspen, berjarak satu meter di belakang punggungnya disaat ia sedang sibuk bertarung dengan lawannya. Aku duga, pasti ini adalah rancangan akal-akalan dari pihak musuh untuk mengelabuhi kita.
Aku segera berlari tanpa pikir panjang, keluar dari semak semak itu dengan panahku yang siap ku ayunkan kepada orang tidak di kenal itu. Namun, rupanya orang yang tidak di kenal itu lebih dulu melihatku yang akan menyerangnya.
Aku masih memegang panahku erat di tangan. Orang tidak dikenal itu bersiap mengayunkan tombaknya, kini mengarah kepadaku. Aku terpaku. Aku sekilas melihat Panglima Aspen menengok ke arah belakang, menyadari terjadi sesuatu yang berbahaya menghadapiku.
Tetapi, sungguh sayang, itu mungkin saat terakhirku melihat wajahnya yang tampan dengan perangainya yang tetap tenang dan gagah berani. Panglima Aspen yang selama ini, aku memendam rasa terhadapnya. Yang membuatku berdiri disini tangguh dengan anak panah di tanganku, hanya untuk melindunginya dari bahaya yang akan menyerangnya.
Panglima Aspen, walau baru saja kemarin malam, hanya beberapa menit sangat terasa sebentar namun aku hanya mencoba bersugesti bahwa kemarin malam terlama yang indah berbincang denganmu. Disaat aku sangat dekat denganmu, kau berbicara padaku terlebih dahulu, kau mendatangiku, menyuruhku untuk tidur tepat waktu. Aku mencintai Panglima Aspen, sejak dari dulu. Ku harap, mungkin detik ini kau menyadarinya.
Tombak itu tepat tertuju padaku, meluncur dengan kecepatan yang entah berapa, pasti sebentar lagi akan menusukku. Tak ada lagi kesempatan waktu untuk menghentikan tombak itu untuk melenceng jauh dari hadapanku, namun aku selalu yakin tak ada yang tidak mungkin dengan anak panahku. Aku meluncurkan segera anak panahku tepat tertuju pada orang yang telah mengirimkan tombak kematian itu kepadaku. Panahku meluncur berkebalikan arah dengan tombak yang meluncur.
Semua memori tentangnya, Panglima Aspen, mengalir dengan cepat di otakku, aliran darahku seakan-akan sudah tidak lagi mampu untuk menopang tubuhku, energiku seakan-akan habis seketika tak mampu berdiri, jantungku seakan-akan melemah mengadu tidak mampu memompa lagi darah untukku, nafasku sekejap sesak tidak mampu lagi menghirup udara yang sama dengannya, dan mataku mengajakku untuk terpejam seperti yang Panglima Aspen pesankan padaku semalam, agar aku tidur tepat waktu.
Kini, aku akan tidur tepat pada waktunya, Panglima Aspen. Tidur untuk selamanya, karena tujuanku telah tercapai dan seandainya surga menantiku, aku telah siap menuju langit menghadap Tuhan-ku.
—-
(Aspen)
Tombak itu tepat mengenai jantung Anna. Anna terjatuh lemas di tanah, matanya terpejam seketika, namun bibirnya tersenyum. Cantik sekali rupanya, bahkan disaat kematian menjemputnya.
Aku melihat dimana saat Anna menjemput kematiannya. Dia telah menyelamatkanku, dia telah menerima kematian yang seharusnya milikku. Aku yang dikenal gagah dengan wibawaku yang tak pernah luntur, kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan tangisanku melihat kepergian Anna.
Anna, bagaimana mungkin secepat ini kau meninggalkanku? Aku yang selama ini juga mencintaimu. Tetapi, aku tak pernah ingin menunjukkannya kepadamu. Seharusnya aku yang mati, seharusnya aku yang menjagamu, menyelamatkanmu, menghormatimu, Anna.
Aku menjatuhkan badanku, aku terkulai lemas di antara dua mayat. Mayat yang membunuh Anna, mayat yang dibunuh Anna. Anna mati dengan kesucian dan keberanian, ia mati untuk menyelamatkanku, menyelamatkan seluruh Port, dan ia mati tanpa kekalahan, ia juga berhasil membunuh orang yang juga telah membunuhnya.
Aku mendekati Anna yang telah tertidur untuk selamanya, aku menggenggam tangannya kuat-kuat seraya menangisi kepergiannya. Anna yang aku cintai, semenjak pertama kali aku bertemu dengannya. Bahkan mungkin, aku lebih dulu mencintainya daripada ia.
—-
Semenjak peristiwa kepatriotan Anna, semua orang begitu menyanjung namanya. Dengan kepergiannya, yang dulu ia bukan siapa-siapa, kini ia menjadi seorang yang hebat yang dikenang. Bahkan, aku sendiri masih merasa kalah dan malu terhadapnya.
Karena itu, aku bertekad untuk selalu mempertahankan dan mengabdi kepada bangsa Port untuk pasukanku, untuk segalanya, dan untuk Anna disana. Ini sebagai balas budi cintaku untuknya, dan aku akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Port, demi harapannya yang besar ia titipkan kepadaku.
Ku genggam anak panah peninggalan Anna di tanganku kencang, berdampingan dengan pedangku yang selalu setia menemani perjuanganku. Aku berbisik, berharap angin mengirimkan pesanku menuju langit.
“Aku siap berperang untukmu.”
19.43
 | 
Label:
Cerpen Smansa
 | 
 
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Kami
O.W.L
 
Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL
0 komentar:
Posting Komentar