#Cerpen: "Anna & Aspen: He is commander, She is hero"

Anna & Aspen: He is commander, She is hero

(Afifah Nurul Karimah - XI MIA 2)


(Anna)
Garis-garis di bawah matanya nampak seperti polesan yang tangguh, tidak membuat ketampanannya luntur sedikitpun. Matanya lurus menatap ke depan, sosoknya berani menyongsong seluruh laksana penjuru, pasti di dalam hatinya tujunya hanya satu memperjuangkan tanah Port. Tanpa ada ketakutan akan mati yang selalu meghantui.

Ia bergerak tegap ke depan, langkahnya sejajar lurus arah vertikal. Suaranya lantang, menembus telinga siapapun yang mendengarnya. Meneriakkan pelurusan barisan para pejuang yang tengah berdiri tegak di atas hamparan batu-batu kerikil bertabur pasir, tepat di depannya membentang gunungan-gunungan gerak gelombang laut yang mengirimkan seruan harapan para bangsa Port.
Aspen, tak pernah sekalipun aku tidak mengingat namanya. Ia selalu menjadi bayang-bayang di kehidupanku selama dekade ini, tepatnya saat semua kondisi Port berubah, Port yang dulu tentram, kini terjajah. Semua yang berumur muda, seperti kami diharuskan tanpa pamrih mengabdi untuk bangsa Port. Dia, Aspen, sebagai panglima angkatan pemuda-pemudi kami. Dialah, Aspen, yang terkenal gagah berani. Dialah, Aspen, yang selalu dipuja, yang seluruh penjuru kota tau siapa dia. Dialah, Aspen yang pasti semua wanita takluk kepadanya.


“Panglima Aspen!” Aku mengangkat tanganku tinggi, menatapnya, berseru kepadanya. Kepadanya, yang selama ini lelaki yang selalu ku elukan terpendam dalam hatiku. Ia menjadi satu-satunya pemicu kobaran semangatku. Hanya satu ketakutanku, aku amat tidak ingin dia mati.
Ia melangkah, matanya kini fokus menatapku. Menghormati setiap siapapun yang ingin berbicara.

“Ada apa, Anna?”
Aku menghela nafas dalam-dalam, aku harus berani berpendapat, setidaknya ia tahu bahwa aku tidak hanya sekedar bekerja, tetapi aku peduli pada bangsa ini.

“Mereka pasti akan menyergap kita, sebentar lagi, beberapa hari lagi. Kita harus menyiapkan strategi yang matang dengan cepat.”

Aspen melangkah mendekat kepadaku. “Anna, terimakasih atas pendapatmu. Maka, kami akan segera melakukan itu, menyusun strategi sesegera mungkin.”
Aspen bergidik, dia kembali menuju depan dimana ia memimpin barisan. Ia berseru agar kami kembali ke pos masing-masing untuk beristirahat. Matahari sudah terbenam, dan esok pagi akan menjadi hari yang sibuk. Tetapi sungguh, malam ini, hasratku menggebu untuk dapat mendapatkan momen bersamanya. Setidaknya, hanya mendengar suaranya lebih dekat lagi.

—-
Aku tidak bisa tidur sama sekali, beberapa kali aku memejamkan mataku, hanya semakin memperburuk bayangan-bayangan dalam otakku, semuanya menakutkan. Aku memutuskan untuk mencari udara di luar, yang memuaskan adalah pos kami berada di sekitar laut. Aku sangat menyukai laut, semilir anginnya yang juara menyenangkan hatiku. Aku duduk menyelonjorkan kakiku di atas pasir laut yang masih putih, rambutku yang panjang melambai-lambai diajak menari oleh angin. Aku terdiam membisu, pikiranku berusaha kosong, tetapi tidak bisa, semakin hari, hati dan otakku semakin tidak akur, yang hanya menang adalah segala ketakutanku. Ketakutanku tentang dia yang akan mati.

Suara derap kaki orang melangkah mendekat, aku tidak berusaha mencoba mencari tahu siapa yang datang. Aku sudah terlalu pusing malam itu, biarkanlah hatiku tenang terlebih dahulu.
Kaki itu semakin dekat, aku tahu orang itu telah sampai dan tengah berdiri di belakangku. Aku bergeming, tidak berusaha menengok. Sampai, orang itu yang sedang berada tepat di belakangku memanggilku.


“Anna..” Ia pelan memanggilku. Aku mengenali suaranya. Segera, aku menengok ke belakang memastikan.
Benarkah itu Aspen? Aspen mendatangiku, malam-malam begini. Di saat hatiku sedang menggundahkannya, dia datang.
“A…as..aspen?” Aku sedikit terbata-bata, benar masih kaget.
“Sedang apa kau malam-malam disini? Ini waktu istirahat, lagipula kau perempuan, tidak baik tidak tidur malam-malam begini.”
Aku membuat keheningan sejenak. Gemetar, tidak tentu, aku benar-benar, aku tidak tahu, aku menyukainya.
“Hm…ya, terimakasih, Panglima Aspen telah mengingatkan. Tetapi, aku benar-benar tidak bisa tidur. Jadi, aku memutuskan untuk ke luar. Panglima sendiri, bukankah sebaiknya panglima tidur?”
Panglima Aspen mengalihkan pandangannya dariku. Tetapi, ia tetap berusaha menghormatiku dengan menjawab pertanyaanku.
“Sudahlah, masuklah ke dalam. Segeralah tidur, besok kami semua harus bersiap.”
Aku mengangguk samar, sedikit tersenyum membalasnya. Aspen tetap dengan wibawanya.

—-
“Segerakan semua yang harus disiapkan! Kita harus cepat, mereka sedang dalam perjalanan untuk menyerang pos-pos! Cepaaaat!” Teriak Panglima Aspen kepada seluruh pasukan pemuda yang tengah sibuk mempersiapkan segala halnya.

Pasukan dari negeri seberang, merekalah musuh di balik selimut. Benar-benar tidak tahu malu, serakah, mereka hanya menginginkan kekuasaan, sudah banyak keluarga kami yang mati bertumpah darah karena keserakahan mereka. Mereka sekarang ingin menghancurkan pos-pos kami, apa mereka belum puas dengan mengambil semua kebahagiaan keluarga-keluarga bangsa Port?

Kobaran semangat membara ke seluruh penjuru Port, kami semua yang tengah melindungi pos-pos kami, yang kami tidak akan pernah sudi, mereka menghancurkannya. Semua sibuk mempersiapkan persenjataan, mengemas logistik untuk persiapan perang, dan menyelamatkan barang-barang berharga lainnya. Aku menggendong anak-anak panahku di punggungku. Yang lainnya, ada pula yang tengah sigap dengan pedang di pinggangnya, yang lain lagi dengan pistol yang tersembunyi di balik belakang punggung. Aspen selalu dengan pedang saktinya, pedang yang membawanya menjadi panglima, sudah berapa musuh kami yang terbunuh oleh pedangnya.

“Panglima, mereka sudah di utara menuju pos. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Panglima?” Salah satu dari pasukan pemuda memberikan kabar terkini kepada Aspen. Kabar yang buruk, karena mereka sudah hampir dekat dengan pos kami.

Aspen bersikap tenang tetapi tetap waspada. Ia dengan cepat memerintahkan kami semua agar berkumpul membuat barisan. Ia berbicara dengan lantang.

“Sekian lama berbulan-bulan tidak ada pertumpahan darah. Hari ini akan ada pertumpahan darah. Bagaimanapun juga, kita harus siap. Hidup ataupun mati. Jangan sampai mereka menghancurkan pos pertahanan kita. Percayalah, bahwa kita mampu. Bersiaplah!”

Semua berseru mengikrarkan siap untuk hari pertumpahan darah ini. Aku bahkan tidak mampu untuk sekedar berkata siap untuk hari yang ternyata akan datang di hari itu, ketakutanku sampai pada puncaknya. Aku gemetar hebat. Aku berdiri terdiam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku bukan takut karena mati yang akan menyerang siapapun, tetapi aku takut, aku benar-benar takut apabila Panglima Aspen mati, meninggalkan kami semua tanpa dipimpin olehnya
.
Apa yang harus aku lakukan?
Aku memejamkan mataku, mengingat segala memori yang tertanam dalam otakku. Aku berbisik.
“Aku rela mati untuknya, dan untuk Port.”
—-
Pertumpahan darah benar-benar terjadi, bukan hanya prediksi. Ini nyata. Negeri seberang yang kejam mengerahkan seluruh kekuatannya, pasukan mereka lebih banyak dari kami, namun itu tidak akan meruntuhkan semangat dan optimisme kami. Kami percaya pada pedoman kami, berpegang pada prinsip kami, dan akan tetap terus berjuang sampai mati menjemput. Mereka lebih banyak menggunakan pistol-pistol besar dengan tipe-tipe teratas yang jika dibandingkan dengan pistol-pistol kami jauh menang mereka.
Tetapi, aku tidak pernah tidak percaya dengan anak-anak panahku. Anak-anak panahku tidak pernah mengkhianatiku. Seperti, Panglima Aspen mempercayai pedangnya.

Dengan segala keyakinan hati, aku memanjatkan ikrar tertinggi dalam benakku, aku siap berperang dengan anak-anak panahku hingga aku mati. Tetapi, asalkan Panglima Aspen tetap hidup. Aku mengambil sigap satu anak panahku di belakang punggungku. Siap ku lecutkan pada siapapun musuh yang mendekatiku. Aku berjalan waspada, diantara orang-orang yang sibuk dengan lawannya. Ada yang sudah terjatuh di tanah, mereka yang sudah mati. Tetapi, selama aku berjalan belum kutemukan pasukan pemuda yang terkapar di tanah tak sadarkan diri. Ini menambah keberanianku.
Aku menemukan sasaranku, musuh itu mendekatiku memperhatikanku yang sedang memegang teguh panahku. Ia dengan pistolnya, mengikuti gerakanku, seakan-akan berhati-hati dengan kecolongan yang kadang merasuki. Aku tetap fokus, menatap mata musuh itu lekat-lekat. Sedetik kemudian, aku hempaskan anak panahku tepat di jantungnya. Dia jatuh ke tanah, matanya terbelalak tanpa bernafas lagi.

Aku berhasil membunuhnya. Memang bukan sebuah kebanggaan, bahkan aku sebenarnya tidak ingin membunuhnya. Tetapi, ini demi sebuah kemerdekaan yang dirampas oleh mereka. Aku berhak membunuhnya.
Satu persatu mati tergeletak di tanah, semakin banyak, semakin tidak bisa dihitung oleh jari saja. Anak panahku berlumurkan darah dari setiap musuh yang berbeda-beda, baunya busuk, bau darah penjajah. Namun, juga tidak sedikit karib-karib pasukan pemuda yang juga telah menjemput ajalnya. Aku berjalan tak sadarkan air mataku terjatuh, mataku tidak berhenti mencarinya. Dimanakah Panglima Aspen? Aku harus segera melindunginya.

Panglima Aspen, itu dia tengah bertarung melawan pemimpin pasukan musuh. Aku berhati-hati, mencoba dengan cermat mengenali gerak-gerik lawannya tersebut. Aku memperhatikan di balik semak-semak, bersembunyi gerilya. Mataku benar-benar tidak berpaling, mengawasi sekitar.
Hingga mataku menangkap sesuatu yang hampir-hampir saja membuat aliran darahku seakan-akan berhenti, detak jantungku merangsangku untuk melompat, dan kantung air mataku tiba-tiba saja seperti berat membendung air bah yang segera mengajak turun. Ada seseorang yang tak dikenal di belakang Panglima Aspen, berjarak satu meter di belakang punggungnya disaat ia sedang sibuk bertarung dengan lawannya. Aku duga, pasti ini adalah rancangan akal-akalan dari pihak musuh untuk mengelabuhi kita.

Aku segera berlari tanpa pikir panjang, keluar dari semak semak itu dengan panahku yang siap ku ayunkan kepada orang tidak di kenal itu. Namun, rupanya orang yang tidak di kenal itu lebih dulu melihatku yang akan menyerangnya.
Aku masih memegang panahku erat di tangan. Orang tidak dikenal itu bersiap mengayunkan tombaknya, kini mengarah kepadaku. Aku terpaku. Aku sekilas melihat Panglima Aspen menengok ke arah belakang, menyadari terjadi sesuatu yang berbahaya menghadapiku.

Tetapi, sungguh sayang, itu mungkin saat terakhirku melihat wajahnya yang tampan dengan perangainya yang tetap tenang dan gagah berani. Panglima Aspen yang selama ini, aku memendam rasa terhadapnya. Yang membuatku berdiri disini tangguh dengan anak panah di tanganku, hanya untuk melindunginya dari bahaya yang akan menyerangnya.

Panglima Aspen, walau baru saja kemarin malam, hanya beberapa menit sangat terasa sebentar namun aku hanya mencoba bersugesti bahwa kemarin malam terlama yang indah berbincang denganmu. Disaat aku sangat dekat denganmu, kau berbicara padaku terlebih dahulu, kau mendatangiku, menyuruhku untuk tidur tepat waktu. Aku mencintai Panglima Aspen, sejak dari dulu. Ku harap, mungkin detik ini kau menyadarinya.

Tombak itu tepat tertuju padaku, meluncur dengan kecepatan yang entah berapa, pasti sebentar lagi akan menusukku. Tak ada lagi kesempatan waktu untuk menghentikan tombak itu untuk melenceng jauh dari hadapanku, namun aku selalu yakin tak ada yang tidak mungkin dengan anak panahku. Aku meluncurkan segera anak panahku tepat tertuju pada orang yang telah mengirimkan tombak kematian itu kepadaku. Panahku meluncur berkebalikan arah dengan tombak yang meluncur.

Semua memori tentangnya, Panglima Aspen, mengalir dengan cepat di otakku, aliran darahku seakan-akan sudah tidak lagi mampu untuk menopang tubuhku, energiku seakan-akan habis seketika tak mampu berdiri, jantungku seakan-akan melemah mengadu tidak mampu memompa lagi darah untukku, nafasku sekejap sesak tidak mampu lagi menghirup udara yang sama dengannya, dan mataku mengajakku untuk terpejam seperti yang Panglima Aspen pesankan padaku semalam, agar aku tidur tepat waktu.
Kini, aku akan tidur tepat pada waktunya, Panglima Aspen. Tidur untuk selamanya, karena tujuanku telah tercapai dan seandainya surga menantiku, aku telah siap menuju langit menghadap Tuhan-ku.
—-

(Aspen)

Tombak itu tepat mengenai jantung Anna. Anna terjatuh lemas di tanah, matanya terpejam seketika, namun bibirnya tersenyum. Cantik sekali rupanya, bahkan disaat kematian menjemputnya.
Aku melihat dimana saat Anna menjemput kematiannya. Dia telah menyelamatkanku, dia telah menerima kematian yang seharusnya milikku. Aku yang dikenal gagah dengan wibawaku yang tak pernah luntur, kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan tangisanku melihat kepergian Anna.
Anna, bagaimana mungkin secepat ini kau meninggalkanku? Aku yang selama ini juga mencintaimu. Tetapi, aku tak pernah ingin menunjukkannya kepadamu. Seharusnya aku yang mati, seharusnya aku yang menjagamu, menyelamatkanmu, menghormatimu, Anna.

Aku menjatuhkan badanku, aku terkulai lemas di antara dua mayat. Mayat yang membunuh Anna, mayat yang dibunuh Anna. Anna mati dengan kesucian dan keberanian, ia mati untuk menyelamatkanku, menyelamatkan seluruh Port, dan ia mati tanpa kekalahan, ia juga berhasil membunuh orang yang juga telah membunuhnya.
Aku mendekati Anna yang telah tertidur untuk selamanya, aku menggenggam tangannya kuat-kuat seraya menangisi kepergiannya. Anna yang aku cintai, semenjak pertama kali aku bertemu dengannya. Bahkan mungkin, aku lebih dulu mencintainya daripada ia.
—-
Semenjak peristiwa kepatriotan Anna, semua orang begitu menyanjung namanya. Dengan kepergiannya, yang dulu ia bukan siapa-siapa, kini ia menjadi seorang yang hebat yang dikenang. Bahkan, aku sendiri masih merasa kalah dan malu terhadapnya.
Karena itu, aku bertekad untuk selalu mempertahankan dan mengabdi kepada bangsa Port untuk pasukanku, untuk segalanya, dan untuk Anna disana. Ini sebagai balas budi cintaku untuknya, dan aku akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Port, demi harapannya yang besar ia titipkan kepadaku.
Ku genggam anak panah peninggalan Anna di tanganku kencang, berdampingan dengan pedangku yang selalu setia menemani perjuanganku. Aku berbisik, berharap angin mengirimkan pesanku menuju langit.
“Aku siap berperang untukmu.”

#Cerpen "Mission (AlShill)"

MISSION (AlShill)

(Devi Argina Fitriyani - XI IIS 1)


Namanya Alvin Jeremy.”
Manik coklat gelap itu menatap lekat-lekat selembar foto di tangannya. Sementara telinganya terfokus pada kata demi kata yang terlontar dari mulut sang Ayah, Ayah kandungnya.

“Dengarkan...”

Gadis itu mendongak. Menampakkan wajah cantik menawannya yang terlihat siluet akibat sinar matahari sore merambat lurus menembus jendela besar di sampingnya. Angin yang berhembus-hembus nakal menyelonong masuk dari celah jendela, menggerakkan mahkota kepalanya yang terikat satu dengan asal.

Manik matanya yang coklat gelap sangat cocok bersanding dengan hidung kecil namun mancung, dengan bibir delima berwarna merah pekat bagai darah, dan dengan kulit putih yang kelewat putih —yang justru menunjukkan kesan pucat. Wajahnya datar dengan tatapan yang kian menajam. Namun, tetap tidak menenggelamkan paras cantik milik gadis bercardigan hitam saat ini.

Lelaki paruh baya di belakang meja bundar itu menyeringai, menantang tatapan tajam ‘Putri Kesayangannya’ . Meski itu setajam pedang bermata dua, tetap tak berarti apapun baginya. Ia sangat paham, putrinya ini seorang yang kooperatif.

“Dekati dia.”

Matanya kembali menatap foto di tangannya. Dia, seorang Alvin Jeremy.

“Mengendaplah dalam hidupnya.”

Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya.

“Curi dan genggam hatinya.”

Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.

“Kemudian...”

Ini tak dapat dipungkiri, dia sangat tampan.

WUSSHHHH

“...Bunuh dia tepat di jantungnya.”

***

Wajahnya tampak tenang. Begitupun dengan langkah kaki jenjangnya yang tertutupi jeans berwarna hitam. Dibahunya tersampir tas selempang berwarna Baby Blue, sementara tangannya memeluk beberapa buku tepat di depan dada.

Seperti biasa, coklat gelap itu menatap dengan awas apapun yang ada di sekitarnya, berusaha menyembunyikan ketajaman itu rapat-rapat. Dalam telinganya, sebuah pesan yang ia terima pagi ini terputar kembali. Seolah mengingatkannya agar tidak lupa. Tidak lengah. Tidak salah langkah.

Dia menghela napas sebentar, kemudian beralih menatap jam tangannya. Dan setelahnya ia mempercepat langkahnya.

BRUUUKK

Dua tubuh manusia itu berbenturan, saling menjauh lagi dan terjatuh bersamaan dalam seperkian detik. Buku dalam pelukannya berserakan, yang kemudian dengan sigap telah tersusun lagi dalam pelukannya. Satu buku lagi yang belum ia ambil, dan buku itu berada tepat di depan sepasang sepatu, dengan sang empunya yang nampak sudah berdiri lebih dulu selepas insiden barusan.

Gadis itu segera mengambilnya dan menaruhnya dalam pelukannya. Buru-buru ia berdiri, mendongak untuk melihat pelaku —atau korban?— dalam Insiden yang baru saja terjadi. Tangan kirinya menyibak poninya sejenak sebelum akhirnya menumbukan coklap gelapnya pada sepasang hitam pekat di hadapannya.

Hidung kecil namun mancung itu menahan napas kala mendapati apa yang ia lihat dengan kepala matanya sendiri. Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya. Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.

Alvin Jeremy.

Keduanya terdiam cukup lama. Tak ada yang berani menginterupsi duluan. Desah angin di sekitar mencoba mengajak mereka mengeluarkan suara, sayangnya sia-sia. Bungkam seribu bahasa, namun mata mereka seolah saling berbicara. Meski tak ada Doraemon dengan mesin waktunya sekarang, tapi mereka seperti merasa waktu terhenti cukup lama. Cukup lama hingga sepertinya kebisuan ini harus segera berakhir.

“Ehm... Maaf aku tidak sengaja.” Lelaki itu menggaruk tengkuknya. “Sekali lagi maaf rrr...siapa namamu?”

Gadis itu menghembuskan napas panjang. Matanya bergerak-gerak gugup meski wajahnya tetap datar, sama sekali tak kunjung berubah. Ada yang aneh di sini.

“Shilla, Ferly Ashilla.”

“Ah, maaf Shilla. Namaku, Alvin Jeremy.”

Shilla meneliti sosok di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alvin Jeremy, Shilla sudah mengetahuinya lebih dulu. Bahkan seluk beluk Alvin yang tak terpublish juga sudah ia pahami. Alvin Jeremy, Mahasiswa semester 3 jurusan Managemen Bisnis. Alvin Jeremy, anak tunggal dari pasangan Tuan dan Nyonya Jeremy. Alvin Jeremy, Pewaris tunggal bisnis keluarga Jeremy. Alvin Jeremy, lelaki yang lebih suka menganggap dirinya sebagai ‘anak-ayahnya’ daripada ‘anak-Tuan-Jeremy-Pebisnis-Sukses-Nan-Terkenal’, dia tidak sombong dan sederhana. Itu hanya sebagian yang akan disebutkan, sementara sisanya lebih baik ditulis daripada disebutkan.

“Permisi?” Tangan Alvin berkibas di depan wajah Shilla. Gadis itu tersentak bersama dengan pemikirannya yang amburadul seketika. Wajahnya masih datar, meski pada nyatanya ia merutuk dalam hati atas kebodohannya.

“Ah-Oh-Iya, tidak masalah, mmm...Alvin.”

Tangan Alvin mundur dari posisinya, kemudian beralih pada tengkuknya untuk sekedar menggaruknya meski itu tidak gatal. Seulas senyum bersahabat terulas di wajah Alvin. Shilla terpana untuk sejenak. Hanya sejenak, karena detik berikutnya ia buru-buru menyadarkan diri.

“Salam kenal, Shilla.”

“Ya.”

***

Kedua mata Shilla fokus memperhatikan jajaran buku di hadapannya. Sesekali diambilnya salah satu buku di sana, kemudian ditaruhnya kembali dengan senyum miris. Dulu Shilla bercita-cita ingin menjadi dokter, sama seperti kebanyakan cita-cita anak sebayanya. Kenapa? Karena ia ingin menyembuhkan teman-temannya? Tidak juga. Shilla dulu punya Ibu, iya, dulu sekali ketika ia masih belajar di taman kanak-kanak. Ia memang masih kecil kala itu, tapi bukan berarti ia bisa dibodohi. Ia bahkan mengetahui penyebab kematian ibunya. Ibunya yang ternyata lebih dulu pergi sebelum ia berhasil menjadi dokter.

Lantas, apa setelah itu cita-citanya sirna? Tidak. Tidak sama sekali. Justru karena itu ia semakin ingin menjadi seorang dokter. Menyembuhkan orang-orang, agar bisa membuat ibunya bangga padanya. Tapi...dalam perjalanan waktu, lingkungan sekitarnya justru membentuknya menjadi pribadi yang melenceng dari harapan awal. Mengingat ia sekarang menjadi apa justru membuat ia merasa miris. Keinginan tidak sesuai kenyataan.

Ini buku keempat yang Shilla ambil, dan pada akhirnya bernasib sama dengan yang sebelumnya —kembali ke tempat semula tanpa sempat dibaca. Percuma saja, pikirnya. Nasi telah menjadi bubur, arang telah menjadi abu, semuanya sudah menjadi hal yang tabu. Tak dapat kembali seperti semula dan menjadi sesuai harapan. Begitu kan siklusnya?

Ia membalik badan. Matanya membulat dan nafasnya tertahan seketika ketika puncak kepalanya terantuk dagu dengan rahang yang tegas. Shilla menghembuskan napas sebentar sebelum akhirnya mendongak. Alvin Jeremy.

“Aku sedang mencarikan buku tentang kedokteran untuk temanku. Hari ini dia tidak masuk, hah... merepotkan. Kamu sendiri sedang apa?”

Shilla mengangkat wajahnya, coklat gelapnya bersibobrok dengan si onyx. “Tidak ada, hanya sedang ingin kemari.”

Entah bagaimana bisa, setelah Shilla mengetahui sosok si pemilik dagu itu adalah Alvin, mereka jadi duduk berhadapan di meja perpustakaan dekat jendela. Tak ada buku menemani mereka, hanya mengobrol ringan di perpustakaan. Mungkin tak ada salahnya menyalahgunakan fungsi perpustakaan. Ah, benarkah begitu?

***

Katakan bahwa telinganya salah mendengar. Katakan bahwa nefronnya tidak sedang berfungsi dengan baik. Katakan bahwa tubuhnya sedang dalam bayang-bayang mimpi. Katakan sekarang!

Ia menoleh cepat pada sosok di sampingnya. Wajah oriental itu menghadap lurus dengan matahari yang tengah beranjak ke peraduan. Semburat jingga menimpa wajahnya dengan indah. Angin laut mengisi suasana di antaranya. Jadi, untuk ini Alvin mengajaknya ke pantai?

Shilla sungguh jelas merasakan dadanya bergemuruh. Darahnya memanas, dan terasa paling panas di sekitar daerah wajahnya. Hatinya berdesir seirama dengan detak jantungnya yang berdetak cepat. Tidak, ini salah! Tidah seharusnya Shilla begini! Ini aneh! Demi apapun, bahkan baru 4 bulan setelah pertemuan mereka.

“A-a-apa?” Shilla tergagap. Shilla telah lupa dan ia lengah.

“Aku mencintaimu, Shilla. Jadilah kekasihku?” Alvin menoleh dengan seulas senyum menawan.

Jangan menoleh. Tidak! Atau kau akan lupa, lengah dan kemudian salah langkah. Shilla mati-matian untuk menahan hasratnya agar tidak menoleh. Jangan lagi lupa dan juga lengah apalagi salah langkah. Sesuatu dalam diri Shilla sudah terlalalu jauh.

Manik coklat gelap Shilla perlahan tertutup oleh kelopak mata Shilla. Ia mencoba berfikir jernih dalam pejaman matanya. Semuanya harus dipikirkan matang-matang. Jangan lagi salah, Shilla. ingat tujuan Awal. Mati-matian Shilla memperingatkan dirinya.

“Baiklah.”

Senyum Alvin terkembang lebar. Benarkah cintanya terbalas? Shilla telah menjadi kekasihnya?

“Aku mencintaimu.”

“Ya.”

Tidak ada balasan, meski Shilla ingin, sama sekali tidak ada. Hanya menanggapi dan setidaknya itu cukup. Shilla sudah terlalu jauh salah langkah. Jangan melangkah lebih jauh lagi.

Tidak dan semuanya aman.

***

CUP

Seperti biasa, Shilla masih bertahan di balik topeng datarnya ketika Alvin mendaratkan kecupan ringan di pucuk kepalanya. Sementara Alvin tetap mengulas senyum. Bohong jika Alvin tidak sadar, sejak awal ia sudah merasa ada yang aneh dari Shilla. Ia jelas merasakan itu. Toh, pada akhirnya ia tetap tidak peduli pada apapun. Shilla menjadi kekasihnya, itu sudah cukup. Alvin tidak menuntut balas apapun atas rasa cintanya.

Jika memang Shilla belum —atau mungkin tidak?— mencintainya, bagi Alvin ini mudah. Sama halnya seperti menanam. Cinta seperti sebuah bibit, cinta mudah ditanam jika dirawat dengan baik, dan tentunya ditanam dalam tanah yang cocok. Mungkinkah hati Alvin itu adalah tanah yang cocok? Tidak peduli iya atau tidak, Alvin akan tetap berusaha. Cinta telah membuatnya jadi begini.

“Masuklah, ini sudah malam.”

Shilla mengangguk, tersenyum sekilas dan kemudian berbalik badan sesuai perintah Alvin.

“Shill...” Alvin berujar, membuat Shilla dengan gerakan ragu menghadapkan tubuhnya lagi ke Alvin. Alvin masih dalam posisinya, di atas motornya, tak bergeser sedikitpun.

“Aku...” Alvin meneguk ludahnya sendiri.

Shilla? Gadis itu pintar sekali bersembunyi di balik topeng sempurnanya sekarang.

“Aku... aku pulang dulu.”

Hanya sebuah anggukan dengan senyum sekilas yang Alvin dapat setelahnya. Alvin mendesah dalam diam, memandang kecewa punggung Shilla yang kian menjauh dari hadapannya. Alvin tidak meminta sebuah pelukan hangat maupun sebuah kecupan manis. Tapi, setidaknya katakan sesuatu yang membuat Alvin tenang.

Merasa memang percuma, ia memulai menghidupkan mesin motornya. Shilla telah benar-benar menghilang dari hadapannya, ia tidak akan mendengar apapun saat ini dari bibir Shilla. Percuma saja. Roda dua itu mulai bergerak dengan seiring desahan kecewa dari Alvin.

Setidaknya, katakan bahwa kau mencintaiku.

***

Pintu bercat seputih tulang itu terbuka kembali, seseorang yang sedari tadi menunggu di balik pintu menyembulkan tubuhnya. Penglihatannya fokus menatap kendaraan beroda dua yang baru saja menghilang di balik tikungan dan meninggalkan asapnya saja. Gadis itu tersenyum miris, juga sakit.

‘Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu.’

Kalimat itu akhirnya terucap juga. Yang sedari tadi ditahannya terlepas juga. Meski tidak secara langsung di hadapannya, beginipun sudah cukup. Ya, karena dengan begini semuanya tetap aman dan terkendali.

Shilla menutup pintu rumahnya untuk yang kedua kalinya. Membalik badan dengan hati-hati lantas menyandarkan punggungnya pada pintu. Matanya melirik ke langit-langit rumahnya. Lagi-lagi ia menghela napas, entahlah akhir-akhir ini ia sering sekali menghela napas. Jengah. Kapan ini akan segera berakhir, itu yang selalu Shilla tanyakan dalam hati usai menghela napas.

“Ciuman yang manis, hm?”

Suara berat itu menghentikan langkah Shilla ketika melewati ruang tamu, tepat saat kaki kanannya baru saja menapaki anak tangga pertama. Shilla tidak berniat sama sekali menyahut apalagi menoleh untuk sekedar sentuhan hormat pada orang tua. Terlalu lelah untuk hari ini. Menoleh sekali saja, semuanya akan semakin terasa melelahkan.

Di belakang sana, lelaki paruh baya itu memperhatikan lekat-lekat punggung putrinya yang semakin hari semakin tumbuh dewasa. Pandangannya tajam dengan aura hitam di sekitarnya. Mengerikan. Dengan sekali melihat saja, semua orang pun akan bergidik ngeri. Dan orang pun akan tahu darimana Shilla mendapatkan tatapan matanya yang tajam.

“Shilla... Jangan pernah melanggar aturan mainnya.” Ucap sang Ayah dengan kalem, namun menohok.

Shilla tersentak kecil. Jelas sekali maksud dari kalimat ayahnya. Diam-diam Shilla tersenyum kecut. Alih-alih tersenyum, ia mengangguk tanpa menoleh barang seinci pun, terlalu lelah untuk itu, ingat?

Shilla mengerti, dan Shilla tahu.

“Aku tau, Ayah.”

Shilla tahu bahwa ia memang telah jatuh cinta.

***

Mata elang berwarna coklat gelap milik Shilla bergerak gelisah. Sesekali memandang jalan setapak di belakangnya yang kemudian bertumpu lagi pada mobil hitam metalik di depan sana. Entah mengapa ia merasakan rasa takut yang begitu besar saat ini. Terlebih lagi saat ia mendapati beberapa pasang mata memperhatikannya dari dalam mobil itu. Hingga pada akhirnya, fokus mata Shilla tertuju pada tanah yang dipijakinya saat ini, berharap tanah itu menenggelamkannya sekarang juga.

Oh, Waktu bergerak mundurlah, atau... berhenti saja.

SRET

Gelap.

Apa matahari meredup?

Cukup terkejut juga saat mendapati pandangannya mendadak gelap. Sayangnya, itu tak berlangsung lama, karena setelah itu tangan Shilla merambat perlahan ke bagian wajahnya, dan menemukan tangan kekar melingkari matanya. Shilla tersenyum tipis, hampir tak terlihat.

“Alvin?”

Seseorang di belakang Shilla terkekeh, lantas setelahnya mengacak rambut Shilla kemudian merangkul dan menarik Shilla untuk mendekat.

“Kamu tau, ya?” Dia terkekeh lagi, Shilla yang melihatnya hanya tersenyum.

Kini tangan Alvin membingkai wajah cantik Shilla. Tersenyum sebentar, sebelum akhirnya berganti menjadi muram. “Aku... lama, ya? Maaf, ya.”

Shilla terdiam. Matanya lekat memandang wajah Alvin. Merekam tiap inci sosok di hadapannya dengan sangat baik. Takut-takut jika esok tak dapat melihatnya lagi, atau bahkan justru takkan pernah melihatnya lagi, yang berarti ini hari terakhirnya. Bibir Shilla bergetar, alih-alih getaran itu berhenti karena Shilla menggigitnya kuat-kuat. Seandainya Alvin tahu, Shilla amat takut saat ini.

“Hei, Shill—“

GREP

Tangan Alvin membentang lebar begitu juga dengan mulutnya yang menganga. Matanya yang sipit terpaksa membulat —meski hasilnya sia-sia— karena begitu terkejut dengan pelukan Shilla yang tiba-tiba.

Butuh waktu lama untuk saraf-saraf Alvin mencerna apa yang terjadi. Hingga Alvin merasakan pelukan Shilla mengerat, barulah ia dapat menyimpulkan semuanya.

Alvin tersenyum bahagia. Tangannya perlahan ikut melingkar di tubuh Shilla yang tidak lebih tinggi darinya. Mengusap punggung yang terasa begitu rapuh itu dengan lembut. Dalam pelukan ini, tak terlihat namun terasa, mereka menyalurkan perasaan mereka masing-masing. Hangat.

Cinta yang sederhana itu memang benar nyata. Hanya melalui sebuah pelukan ringan, kekuatan cinta itu begitu terasa. Tidak perlu kata-kata romantis jika berikutnya hanyalah omong kosong belaka. Tidak perlu mengikat janji jika berujung dengan pengingkaran dan air mata. Juga tidak perlu benda pengikat jika pada akhirnya menggores luka. Cinta tidak perlu sesuatu yang berlebihan. Ketulusan dan kesederhanaanlah yang membuat cinta menjadi sesuatu yang terlihat ‘LEBIH’.

Begitu juga halnya dengan Alvin. Cinta Alvin hanya memerlukan balasan dari Shilla, bukan kata-kata yang omong kosong, janji yang palsu, apalagi benda pengikat yang justru menyiksa. Karena bagi Alvin, aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Aku tulus, kamu pun tulus. Aku menerimamu dan kamu menerimaku. Sederhana.

Dalam dekapan Alvin, kaki Shilla gemetar, itulah mengapa ia mengeratkan pelukannya. Shilla terlalu peka, hingga makhluk hidup di belakang sana yang berjalan mendekat pun Shilla merasakannya.

SRET

BUGH

DUAGHH

Dua pria bertopeng dengan tubuh kekar menarik Shilla dari pelukan Alvin. Alvin yang melihatnya seketika merasa marah, ingin menyerang jika saja dua orang lagi tidak menahannya. Dengan beringas, Alvin memberontak. Sayangnya, Alvin jelas melakukan hal yang justru sia-sia, tenaga Alvin berbanding jauh dengan dua orang pria tersebut.

Sementara itu, Shilla justru terlihat pasrah-pasrah saja ketika tubuhnya diseret paksa dua pria yang sejujurnya, Shilla mengenalnya. Ia tahu ini akan terjadi. Dan inilah hal yang benar-benar membuat Shilla merasa takut sedari tadi.

Shilla menoleh cepat ketika mendengar Alvin meneriaki namanya berkali-kali. Wajah Alvin sudah babak belur dengan memar di ujung bibirnya dan luka berdarah di pelipisnya. Tubuh Shilla semakin bergetar, nuraninya memerintah kaki Shilla untuk berbalik dan menghampiri Alvin. Baru saja ingin melangkah, Shilla harus ditarik paksa lagi untuk masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Alvin yang masih ditangani —Disiksa lebih tepatnya— oleh dua pria kekar. Shilla yakin itu... Bodyguard ayahnya.

Di dalam mobil, dua lelaki yang menangani Shilla itu menghempaskan tubuh Shilla ke jok belakang dengan kasar. Shilla mendengus begitu terhempas. Dan baru saja hendak mengeluarkan protes, mulut Shilla bungkam begitu saja ketika dihujami tatapan beraura hitam menyeramkan dari Ayahnya yang duduk di sebelahnya.

Shilla akhirnya memalingkan wajah menjadi menghadap jendela. Hampir saja kaca di samping Shilla pecah jika saja Shilla tidak ingat dimana dan dengan siapa dia sekarang. Bibir Shilla lagi-lagi bergetar melihat pemandangan di luar sana. Tulang belikat Alvin yang dihantam keras dengan siku, perut Alvin yang dihujani kepalan tangan juga tidak lupa wajahnya hingga membuat wajah Alvin bermandikan darah. Puncaknya ketika Alvin memuntahkan darah dan kemudian tak sadarkan diri. Saat itu juga, Shilla ingin melakukan sesuatu, tapi urung.

Tidak boleh! Sudah sejauh ini, dan ini janjinya.

***

Dua lelaki itu masih betah beradu pandangan tajam satu sama lain. Tak sedikitpun beranjak dari posisi mereka yang berdiri di atap sebuah gedung. Salah satu dari mereka mengepalkan tangannya keras, menahan sebuah amarah yang memusat di sana. Sementara yang satu lagi, menggertakkan giginya, menampakkan rahang tegas yang menantang.

Gabriel —sosok yang mengepalkan tangannya— membuang wajah pada akhirnya, napasnya naik-turun akibat menahan amarah juga menahan diri untuk tidak melayangkan kepalan tangan pada wajah di depannya.

“Sivia istriku. Berhentilah mengganggu kami, Riko Jeremy!”

Riko —Lelaki dengan rahang tegas yang menantang—menyeringai. Wajahnya mulai melunak, tidak setegang tadi. Seraya memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, ia beranjak pergi. Pergi tanpa peduli dengan Gabriel, Sahabatnya—yang sekarang menjadi musuh terbesarnya— dengan wajah merah padam.

“Jika aku tidak bisa memilikinya, begitu juga denganmu. Ini adil. Aku akan membuat kita tidak ada yang memiliki Sivia. Aku, maupun dirimu, Gabriel Miracle. Tidak ada dan tidak boleh.”

Gabriel menggeram.

“Well, kupikir akan lebih seru lagi melihat putrimu tumbuh dewasa tanpa seorang ibu.”

BUGH

“Ayah?”

Siaran ulang di masa lalu pada benak Gabriel terputus seketika kala sebuah suara mengusik masuk ke dalam telinganya. Gabriel mengusap wajahnya, lantas mengangkat wajahnya untuk sekedar menoleh pada sumber suara. Wajahnya tampak datar, ah lebih tepatnya berpura-pura datar jika diperhatikan lekat. Sosok yang di panggil dengan sebutan Ayah oleh Shilla menegapkan posisi duduknya dengan tenang, seolah tak ada yang membebaninya saat ini. Ah, ternyata kepandaian berpura-pura milik Shilla diturunkan dari ayahnya.

“Apa yang ayah pikirkan?”

“Tidak ada.”

Shilla mengangkat sebelah alisnya, nampak tidak puas dengan jawaban Ayahnya. Sejak kecil, lebih tepatnya sejak Ibunya berpulang, Ayahnyalah yang memegang peran ‘Ayah dan Ibu’ dalam hidupnya. Dan hal ini membuat Shilla sangat mengenal sosok Ayahnya luar dan dalam. Wajar saja jika ia merasa ada yang aneh pada ayahnya.

Baiklah, Shilla menghela napas. Jika dalam situasi seperti ini, lebih baik mengunci mulut untuk tidak bertanya lebih lanjut. Shilla sangat mengenali ayahnya. Ada sesuatu yang tidak bisa dibagi dengannya. Shilla mengerti itu.

“Shilla, kamu mencintainya?”

Gadis bersurai hitam legam yang baru saja mendudukkan diri di samping Ayahnya merespon dengan kebisuan. Matanya memandang ayahnya sebentar, kemudian beralih menatap sosok tak berdaya yang terikat pada kursi di tengah ruangan. Shilla menghirup napas sebanyak-banyaknya, berusaha mengisi kesesakan pada paru-parunya, lantas menghembuskannya dengan kasar.

“Jangan bertanya, Ayah.”

Karena mencintainya atau tidak, semuanya tetap tidak akan berubah. Bukankah begitu aturan mainnya?

***

BUGH

Alvin meringis merasakan nyeri di pipi bagian kirinya. Tubuhnya benar-benar lemas, bahkan ia tidak merasakan adanya energi dalam tubuhnya, yang ada hanyalah rasa sakit dan nyeri di tubuhnya. Jadi, melawan pun Alvin tak bisa jika tubuhnya lemas dengan kondisi seperti sekarang.

“Kenapa Anda mel—“

DUAGH

Kali ini tepat di perutnya, lutut dengan betis berotot di bawahnya menghantam tanpa ampun. Alvin terbatuk-terbatuk dengan napas yang sudah kembang-kempis. Dan ketika terbatuk sekali lagi, Alvin mendapatkan bercak darah pada telapak tangannya. Seolah tidak peduli, Alvin mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang nampak duduk tenang di kursinya. Seraya tersenyum, Alvin terbatuk lagi, “Kenapa anda melakukan ini pada saya, Tuan? Uhuk.”

Laki-laki paruh baya itu menyeringai, “Untuk menebus nyawa dengan nyawa.”

BUGH

BUGH

DUAGH

Kini baik pipi kanan maupun pipi kiri Alvin mendapat satu tonjokan Cuma-Cuma yang meninggalkan bekas biru kehitam-hitaman di wajah orientalnya. Belum sampai di situ, karena setelahnya Pria berbadan kekar yang sedari tadi menghajarnya, mencengkeram kerah baju Alvin dengan kuat lalu melemparnya kasar hingga membentur tembok. Ia sempat mendengar sesuatu yang patah sebelum akhirnya rasa sakit melingkup tubuhnya, LAGI.

“Dengar...”

Dengan Susah payah Alvin mendongakkan wajahnya.

“Ayahmu, Riko Jeremy, telah merebut nyawa istriku.”

BUGH

SRET

BRAK

Wajah Alvin telah benar-benar babak belur. Kerah Alvin dicengkeram lagi, dan kemudian di lempar lagi ke pojok ruangan. Lelaki berwajah oriental itu tersungkur dengan darah yang memancar dari sudut bibirnya. Sekujur tubuhnya sudah bermandikan keringat yang telah bercampur menjadi satu dengan darah dari beberapa luka. Tubuhnya benar-benar hanya merasakan rasa sakit yang mendera begitu hebat.

“Berhenti.” Gabriel melipat tangannya di dada, memandang remeh sosok Alvin yang benar-benar mengenaskan. Alih-alih begitu, Gabriel menoleh pada putrinya yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan kaki gemetar.

“Peluk dia.”

Shilla menatap Ayahnya lekat-lekat, sementara yang ditatap bersikap tidak peduli. Kini tubuh Ayahnya sudah menghadap jendela dan membelakangi tubuhnya. Dialihkan pandangannya, seketika Shilla merasa lemas melihat pemandangan ini. Kaki dan bibirnya sudah gemetar sedari tadi.

Kini bibir tak berdosa itu tergigit keras oleh gigi bagian atas, sementara kakinya yang gemetar mencoba melangkah meski terasa berat

Lakukan atau tidak sama sekali.

“A-a-alvin?” dengan bibir gemetar nama Alvin terlontar dari bibir semerah darah milik Shilla.

Alvin dengan sisa tenaganya mengangkat wajahnya guna menatap wajah Shilla. Dan senyum penuh sayang terulas di wajah yang telah babak belur ketika tubuh Shilla mendekap Alvin dengan erat.

“Shilla...”

Pelukan Shilla mengencang sebelum ia berujar lirih, “Maaf.”

“Shilla, apa kamu masih mengingat pertemuan pertama kita?”

Shilla terdiam sebentar, mengangguk pelan dan mengucapkan kata sebelumnya dengan lirih, “Maaf.”

“Saat itu, kita bertemu dalam sebuah insiden kecil. Lucu ya.”

“Maaf.”

“Setelah itu, entah bagaimana bisa kita saling kenal.”

“Maaf.”

“Lalu, aku mencintaimu. Sungguh, itu terlalu ajaib mengingat kita hanya mengalami pendekatan selama 4 bulan. Cinta itu... aneh ya, Shill?”

“Maaf.”

“Dan karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai sekarang. Sungguh... sebuah keajaiban ya, Shill?”

Shilla terdiam cukup lama. Karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai sekarang? Shilla merasa tertohok mendengarnya. Karena cinta? Shilla tidak mengerti bagian yang mana yang disebut cinta jika Shilla melakukan hal sejauh ini? Ini terlalu fana disebut cinta. Cinta tidak begini. Sungguh! Ini bukanlah cinta.

Dan pada akhirnya, masih kata yang sama yang mampu Shilla ucapkan, “Maaf.”

Alvin merengkuh tubuh gemetar itu lebih dalam. Matanya terpejam, dibaliknya sebuah film masa lalu terputar jelas dalam benaknya. Alvin mengingat kembali saat itu, saat dimana ia dengan ceroboh bertabrakan dengan Shilla di tikungan koridor kampus. Ini terlalu konyol, tapi Alvin menyukainya, ia masih mengingatnya dengan jelas.

Film itu masih saja berputar-putar cepat dan bergantian. Semuanya, kenangannya dengan Shilla, takkan pernah terlupakan, sekalipun Alvin telah tiada nantinya. Karena Alvin... mencintai Shilla. Sederhana.

“Shilla... Aku mencintaimu.”

Nafas Alvin tercekat. Namun, tidak begitu lama, karena setelahnya ia tersenyum tulus. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Aku... bahagia saat—”

DORRR

Alvin masih dengan senyumnya, “—bersamamu.”

“Maaf.”

Tubuh Shilla benar-benar gemetar. Rasa takut, sedih, kecewa, marah dan kehilangan semua berpadu menjadi sebuah guncangan besar dalam hatinya. Memporak-porandakan semuanya hingga ke ulu hati. Dan napasnya terasa sesak, seolah ada palu godam yang menghantam dadanya.

“Aku juga mencintaimu.”

Tangan dengan bercak darah itu melingkar erat di tubuh Alvin. Seolah tak mau sedikitpun kehilangan sosok dalam rengkuhannya.

“Aku juga bahagia saat bersamamu.”

Dan pada akhirnya tubuhnya terduduk lemah, rengkuhannya merenggang. Membuat raga dalam rengkuhan rapuh itu terjatuh tepat di pangkuannya. Pistol dalam genggamannya terjatuh begitu saja.

Lelaki paruh baya yang sedari tadi berdiri menghadap jendela, menatap putrinya dengan cepat. Seulas senyum kemenangan terpatri jelas pada wajah yang mulai terlihat keriput —meski begitu tetap tampan.

“Anak pintar.” Ia menoleh kearah pintu dan menyeringai pada dua bodyguardnya. “Bawa dia ke hadapan Ayahnya. Sekarang!” Lantas setelahnya pergi meninggalkan sang putri yang terkulai lemas.

Suara dentuman itu masih terdengar sangat jelas di telinga Shilla. Pergerakan pelatuk yang ia timbulkan masih terasa sangat nyata di sela-sela jarinya. Tubuh Alvin yang tak berdaya kala merengkuhnya masih terasa hangat dalam hatinya yang kacau. Semuanya... Shilla merasa semuanya masih melingkupi hidupnya. Alvin dengan senyumnya, perhatiannya, kasih sayangnya dan tentunya... cintanya.

Shilla mendongakkan wajahnya. Menatap langit-langit ruangan yang terasa ingin runtuh di matanya, seolah siap menimpa tubuhnya kapanpun itu. Senyum yang terlihat miris itu terkulum. Dalam manik coklat gelapnya, ia melihat Ibunya yang tengah tersenyum pada dirinya di masa lalu. Mengusap lembut rambutnya yang menguarkan aroma strawberry khas anak-anak.

“Setelah ini, Shilla harus patuh pada Ayah. Mengerti?”

Kedua mata itu terpejam keras-keras, menimbulkan kerutan yang terlihat menyimpan sejuta rasa sakit di sana. Sementara suara lembut Ibunya menggema terus-menerus dalam telinganya.

Dia melakukan hal yang benar, bukan? Patuh pada Ayahnya, sekalipun diperintah untuk bunuh diri, tetap harus melakukannya. Begitu, kan? Sekarang ia benar-benar telah mematuhi keinginan Ayahnya dan mengenyahkan hasrat untuk menolak.

Matanya Shilla terbuka setelah terpejam cukup lama, menatap nanar pada pistol yang tergeletak di atas marmer putih dengan bercak darah menempel disana.

Tugasnya telah selesai.

TES

SRET

Setetes air mata lolos begitu saja dari mata Shilla, dengan cepat melintas diatas pipinya. Dan secepat itu juga, Shilla menyekanya kasar. Jangan pernah menjadi gadis cengeng, perintah Ayahnya benar-benar melekat dalam otaknya. Shilla benar-benar tumbuh menjadi gadis yang pantang dengan air mata.

Sekalipun ingin menangis, Shilla akan menangis dalam hati.

***

“Alvin Jeremy sungguhan meninggal?”

“Ini tidak dapat dipercaya.”

“Pemakamannya dilaksanakan kemarin.”

“Hiks. Aku ingin menangis.”

Suara-suara itu masih berlanjut pada topik yang sama. Kematian putra tunggal Tuan Jeremy benar-benar menjadi obrolan hangat di kampus pagi itu. Berita itu tersebar hingga ke setiap penjuru kampus, semua orang membicarakannya. Dan pagi itu, suasana kampus kelam, dirundung duka.

Mungkin, hanya ada seorang gadis yang tak membahas apapun tentang kematian Putra Tuan Jeremy yang terhormat itu. Dia lebih mengasingkan diri dibalik buku setebal 3 cm sejak pagi tadi. Sayangnya, tak ada yang tahu bahwa telinganya mendengarkan dengan serius apapun yang tertangkap telinganya. Dia tak hanya membaca, tapi juga mencuri dengar, seandainya mereka tahu.

Tidak terasa buku yang ia baca telah selesai. Gadis itu menghela napas, lantas matanya beralih menatap arlojinya. Sudah waktunya pergi. Ia menutup bukunya, nampaknya besok dia harus meminjam buku yang baru.

Gadis itu mulai berdiri, mengakhiri kegiatan membacanya juga mencuri dengarnya.

Ini sama seperti membaca buku. Jika telah sampai di lembar terakhir, sejatinya kita akan menggantinya dengan buku lain dan membuka lembar baru. Sama seperti kisah ini, ketika kisah ini telah mencapai lembar terakhir, membuka lembar baru sesungguhnya lebih baik. Jangan lagi menoleh ke belakang, karena tujuan kita adalah kedepan.

Shilla menghembuskan napas dengan kasar bersamaan dengan rasa sakit yang berusaha ia enyahkan.

Kisah ini telah berakhir.

***

KLIK

Televisi flat itu menampakkan layar yang kian menghitam. Ray melirik teman-teman disampingnya. Keningnya mengkerut mendapati keadaan teman-temannya yang terlihat mengenaskan di matanya.

“Kalian nangis?”

Keke, temannya yang tengah mengelap lubang hidungnya dengan tissue menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada kegiatannya mengelap hidung. “Ini sedih, Ray.”

Ray mencibir pada Keke. Menurutnya ini berlebihan.

“Apalagi waktu scene Shilla nembak Alvin pas Alvin bilang ‘Aku mencintaimu’. Itu nyesek, Ray.” Acha, dengan mata memerah menyahut tanpa menoleh seraya merapikan tempat DVD yang terlihat berantakan.

Ray melongo, kini di tatapinya Ozy, temannya yang nampak kalem dengan gadgetnya.

“Elo juga nangis, Zy?”

“Enggak.”

Ray menghembuskan napas lega, setidaknya masih ada temannya yang tidak menjijikkan dan berlebihan —menurutnya.

“Tapi gua tersentuh sama tokoh Alvin Jeremy-nya.”

Apa? Ray melongo setelah mendengus dan mencibir. Ternyata Ozy sama saja.

“Gue mau ke toilet dulu.”

Semuanya menggangguk acuh, tampak tidak peduli dengan Ray. Apapun yang akan Ray lakukan dirumahnya sendiri, itu bukan suatu masalah bagi mereka. Lain lagi jika ini bukan rumah Ray, Ozy pasti akan mengekori Ray. Bersahabat dengan Ray membuat mereka mengenal Ray yang tidak bisa diam.

Izin ke toilet tentu saja alibinya untuk menutupi sesuatu. Ia merasa aneh dengan dirinya. Sejujurnya, sejak ia mematikan Televisi di kamarnya, ia sudah merasa matanya memanas. Awalnya, ia kira itu bukan apa-apa. Sampai pada akhirnya, matanya yang memanas kian memburam oleh sesuatu yang menggenang di pelupuk matanya. Ray merasa risih dengan matanya.

TES

“AISH! KENAPA GUE JUGA NANGIS?!”

***

THE END

#Cerpen "Teror Sang Hantu"

TEROR SANG HANTU
(Laras Mumtaz - X MIA 3)

“Teng teng teng!”
Dentuman jam berbunyi, pertanda tengah malam. Aku pun terbangun dengan suara dentuman itu. Lalu aku teringat akan buku tugas yang harus ku kumpulkan besok. Kemudianaku beranjak dari tempat tidur.Dan saat ku menyalakan lampu, ternyata lampunya tidak menyala.Aku teringat bahwa pulsa listrik rumah sedang habis.Orang tua ku lupa mengisinya.Terpaksa aku mengerjakan buku tugas dengan sebatas cahaya lilin.Ku kerjakan buku tugas itu dengan teliti dan penuh hati-hati.

Aku sendirian dirumah.Kebetulan orang rumah sedang tidak ada. Ayah kerja lembur, ibu ada keperluan di Surabaya, adik dirumah nenek, kakak kuliah jadi tinggal ngekos. Sendirian dirumah itu bagaikan tinggal di dunia kegelapan. Sepi gelap, dan hening hanya terdengar suara angin yang tertiup melewati jendela kamar.Karena dingin, kuputuskan saja tuk menutup jendelanya.Anehnya, padahal sudah ku tutup jendelanya dengan rapat namun seperti ada semilir angin yang melewati leher ku.Aku pun jadi merinding.Hal itu tak ku pedulikan, aku terus mengerjakan buku tugas dengan serius.

Beberapa menit kemudian.Ada satu soal yang tidak ku mengerti jadi kuputuskan mencari buku di perpusatakaan.Perpustakaan terletak diruang bawah tanah.Rumah ini sangat besar, Jarak dari kamar ke perpustakaan lumayan jauh.Jalanannya pun seperti lorong.Karena baru pindah tiga hari yang lalu, aku belum terlalu hafal letak-letak ruangannya ditambah lagi gelap gulita.Jadi aku harus mencarinya di setiap sudut ruangan.Ku ganti lilin ku dengan lampu petromax.aku melangkah dengan hati takut.

Saat melewati lorong yang menghubungkan kamar dengan ruangan lain, aku melihat sesosok bayangan perempuan berambut panjang yang sedang berdiri di depan jendelasambil menyanyikan lagu sinden jepang. Bayangannya terlihat diterangi rembulan. Aneh padahal kan tidak ada orang sama sekali. Ku coba tuk mendekatinya.
“Siapa disana?”.Tanyaku pada sosok bayangan itu.

Tak ada jawaban.Ku coba menghapirinya lebih dekat.ku arahkan cahayalampu ke wajahnya. Aku terkaget, seluruh wajahnyapucat danpenuh dengan darah.aku melongo kaget tanpa berkata apapun, Aku langsung lari menuju kamar. namun aku tidak menemukan kamar ku. Entah kemana aku lari tiba-tiba aku sudah ada di ruang bawah tanah rumah ini.

“Tadi itu beneran apa nggak ya? Mungkin aku salah liat.”Kata ku dalam hati.Kejadian tadi langsung kulupakan begitu saja.Ada satu ruangan di bawah tanah ini yaitu perpustakaan.Dari luar terlihat seperti dua ruangan.Ketika ku masuki, hanyalah sebuah ruangan yang tidak terlalu besar.

Perpustakaannya masih kotor dan berdebu.Pembantu ku juga belum sempat membersihkannya.Ku melihat-lihat sekitar perpustakaan sambil membaca buku-buku yang ada disitu.Gelap sekali sungguh menyeramkan.Kebetulan sekali aku sedang membutuhkan buku pelajaran.Ku lihat-lihat sekeliling perustakaan sambil mencari buku yang kubutuhkan.Buku di perpustakaan ini cukup lengkap.Ada satu buku yang membuatku tertarik.Terletak di sisi paling pojok rak buku.Hanya buku itu yang terlihat paling kotor.Sepertinya sudah lama sekali buku itu ada dan tidak pernah dibersihkan, disentuh pun tidak pernah terlihat sangat usang.

Ada sebuah rantai yang mengelilinginya dan gembok yang menggantung di rantainya.Sepertinya sudah ada yang pernah membukanya.Gemboknya sudah tidak terkunci.
“Fufufu…Yang benar saja?!Ini bukan dunia Harry Potter kan. Kayak buku terlarang aja pake di gembok segala”. Gumam ku dalam hati.
Tidak ada judul sama sekali disampul depan buku itu. Ku buka buku itu perlahan.Ternyata hanya catatan diary seseorang.Halaman pertama terdapat foto keluarga pemilik buku itu, namun hanya bagian wajah yang diburamkan. Halaman kedua tertulis,




Dear diary
Hari ini aku pindah kerumah baru ku.Rumah yang lebih besar dari rumah sebelumnya.Dengan berbagai ruangan yang besar dan mewah.Tamannya pun luas dan banyak ditumbuhi berbagai macam tanaman hias. Ada perpustakaannya pula aku senang sekali berada disitu….

Di halaman kedua buku itu tertempel sebuah foto. Aku sangat kaget ketika melihat foto rumah yang samapersis dengan rumah yang kutempati sekarang.
“jangan-jangan ini diary milik orang pertama yang menempati rumah ini” pikirku.Kulanjutkan membaca.

Dear diary
Hari yang cerah seperti biasa,kusambut pagi dengan senyuman.Ini adalah hari pertama aku masuk SMAberangkat sekolah pagi-pagi dan pulang di sore hari.Aku mengikuti sejumlah ekstrakulikuler, salah satunya paduan suara, kegiatan eksul ini berlangsung sepulang sekolah.sepulang dari ekskul aku langsung pulang dan mengerjakan tugas-tugas…..

Dear diary
Hari ini aku berkenalan dengan teman baru.dia teman sekelas ku. Rasanya aku jatuh cinta kepadanya, dia sangat ramah dan baik hati….
Dear diary
Seminggu setelah berkenalan dengannya, dia menyatakan cintanya kepadaku, aku pun menerima cintanya dengan senang hati….

Dihalaman ini terdapat dua yang sedang berfoto, tapi anehnya disetiap foto ini hanya bagian wajah saja yang selalu diburamkan.Ku lanjutkan membaca halaman selanjutnya.

13 Maret 1866
Dear diary
Hari ini aku senang sekali karena hari aku berulang tahun yang ke 16, aku merayakan ultah ku bersama teman-teman dan kekasihku….
Dear diary
Sebulan berlalu, aku berpacaran dengan lelaki itu, hubungan kami sudah semakin akrab hingga kami melakukan hal  yang lebih jauh…
Dear diary
Aku hamil.Aku sudah menceritakan ini pada lelaki itu. Dia tidak mau mempertanggung  jawabkan perbuantannya dan malah meminta ku untuk menggugurkan kandungan ku tapi aku menolaknya. Aku tidak mau mengugurkan janin ini itu sama saja aku membunuh janin yang tidak berdosa ini, semenjak itu aku selalu bertengkar dengannya dan aku memutuskan untuk putus dengannya, aku sangat kecewa dengannya....
Dear diary
Aku terus menyembunyikan kehamilanku. Hingga akhirnya orang tuaku menyadari kehamilanku saat melihat ku membeli test pack, semenjak mereka tahu kehamilanku mereka selalu bertengkar setiap hari dan mengolok-olok ku. Ibu ku yang sangat peduli padaku hanya diam saja.Aku benci rumah aku ingin pergi ….
Dear diary
Tidak hanya orangtuaku saja yang tahu, teman-teman sekolah ku juga entah dari mana mereka tahu berita itu, mereka selalu membully ku. Aku selalu sendiri, aku butuh mereka disampingku, hingga akhirnya kepala sekolah mengeluarkanku dari sekolah….
Dear diary
aku terus megurung diri di kamar…

17 Juni 1866
Dear diary
Aku tidak kuat menahan ini semua, aku ingin mengakhiri hidup ku…

18 Juni 1866
JAM 00.00
DEAR DIARY
TINTA HITAM PENA KU TELAH HABIS MENGISI BUKU HARIAN INI, AKU MATI BUNUH DIRI DENGAN MEROBEK LEHER KU DAN KUJADIKAN DARAH INI SEBAGAI TINTA. DENGAN SISA TENAGA TERAKHIR, KU GANTUNG DIRIKU DI TEMPAT INI BERSAMA BAYIKU YANG MASIH DALAM KANDUNGAN…

Bulu kudukku merinding ketika membaca halaman terakhir ini.
Tes..tes.. tess…
Tetesan darah mengenai buku itu.Ku tengok ke atas. Ada seorang mayat gadis perempuan  yang mati gantung diri. Aku melongo dan setengah tidak percaya.Dia ada disini.Kulihat lagi keatas tapi dia sudah tidak ada.
“untung cuma perasaan ku” kata ku sambil menghela nafas.
Tiba-tiba ada angin bertiup kencang hingga membuka halaman paling akhir buku harian itu. Aneh padahal kantidak ada ventilasi maupun jendela di bawah tanah ini. Lalu Ku baca hal terakhir itu.

18 september 2014
TOOOLLLOOOOOOOOONNNGGGGGG  AAAAAKUUUUUUU!!!!!!!!
Aku terkejut melihat tanggal yang dicantumkan dalam tulisan itu adalah dini hari masa sekarang.
“kapan dia menulisnya?” gumam ku dalam hati.
Tiba-tiba ada seorang perempuan rambut panjang yang duduk di depanku sambil menggendong seorang bayi. Dia menangis sambil bernyanyi, menyanyikan lagi nina bobo. Kepalanya terus tertunduk, wajahnya tertutup rambut panjangnya.
“kenapa kau disini? Seharusnya tempat mu bukan disini!!” Tanya ku padanya. Dia tertawa layaknya hantu “hi..hii hi hi…”. Tawa kemenangan.
Aku langsung berpikir. “Ini pasti bukan diary biasa, kalo saja hanya diary biasa tidak mungkin sampai ada rantai dan gembok sebagai segel, pasti dulu ada seseorang memasangnya. Aku sudah salah mengira aku kira cuma segel biasa ”. Ku buka halaman sebelumnya tertulis nama dan foto korban yang dia bunuh, termasuk aku. “cih, sial aku dijebak!”.
Aku bertanya pada hantu itu “untuk apa kau melakukan semua ini?”.Dia menjawabnya dalam buku itu.

UNTUK BALAS DENDAM…..


Dia langsung menerkam bahuku, menukar roh ku dan Merasuki tubuhku.menjadi layaknya diriku, menjalani segala kehidupan manusia di dunia nyata.Sedangkan akuterbang kesana kemari seperti hantu.

Diberdayakan oleh Blogger.

O.W.L

O.W.L
Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL

Twitter KPP !!

Pengikut