MARY PROSA: Hutan Philsup & Warisan Petuah #1
MARY PROSA:
Hutan Philsup
& Warisan Petuah
2 tahun berlalu sebuah pernikahan yang sudah dinanti
jauh-jauh hari antara seorang yang ditakdirkan dengan seorang yang dijodohkan,
antara Mary Kindee dan Joseph F. Prosa. Banyak yang tidak tahu hubungan mereka saat
ini, apakah harmonis atau tidak, apakah serasi atau tidak, apakah saling
melengkapi atau tidak. Yang jelas banyak orang diluar sana yang membicarakan
biduk rumah tangga antara mereka berdua. Aku tidak tahu apa yang mereka
bicarakan mengenai kehidupan rumah tangga Mary dan Joseph. Tapi setahuku Mary
dan Joseph kini sudah memiliki buah hati dari pernikahan yang bisa dibilang
bukan kehendak hati mereka sendiri, yang satu merasa ditakdirkan yang satu
merasa dijodohkan. Mary Kindee. Sesosok wanita cantik dari sebuah keluarga
religius yang mendiami sebuah desa kecil ditengah hutan bernama Philsup.
Philsup's Story
Kata philsup pertama kali muncul ketika sekumpulan suku
Renkra dengan bahasa Areon menidami sebuah tempat yang dikenal sebagai Cincin
kematian (Sebuah tempat yang jauh dari peradaban, diujung pantai yang
berbatasan dengan hutan tandus dan tanah hampa). Philsup mempunyai arti sebagai
Filosofi. Konon hutan yang terbentang luas ini tercipta dari sebibit pohon
langka yang ditanam oleh filsuf-filsuf dari golongan Renkra. Semuanya berawal
ketika para filsuf sangat miris akan keadaan daerah yang ditinggalinya.
Tanah-tanah yang kering terpecah, Air tanah yang keruh, Udara gersang yang
menembus kulit, sebuah kehidupan yang sangat menyayat hati. Keburukan yang ada
justru bertambah ketika seorang pengrajin kayu menebang satu-satunya pohon
harapan yang dijaga baik oleh para Filsuf. Sebuah pohon besar tempat berteduh
para suku Renkra hilang tak berbekas. Pohon yang selalu mengayomi, melindungi,
dan memanjakan badan ketika kucuran keringat menetes dari kerja keras yang
dilakukan para warga sekitar demi kondisi tanah yang lebih baik.
Harapan yang tersisa yang telah ada bertahun-tahun lenyap
seketika dalam waktu satu malam. Para warga dan Filsuf tidak tahu harus berbuat
apa lagi. Pohon yang sudah mereka anggap sebagai Ibu-bapa mereka sendiri sudah
tak tau kemana, hilang tak berbekas. Kebingungan kian menyelimuti mereka dari
hari ke hari, bingung akan apa yang harus dilakukan ketika naungan mereka
selama ini menjadi korban seorang yang tak bertanggung jawab.
---------
Dimensi waktu yang dialami para filsuf sepertinya kini
berputar 180 derjajat, jika tanah yang dulunya kering kini menjadi sebuah hutan
besar yang penuh akan air, udara yang segar, burung burung yang selalu
bernyanyi menyambut pagi. Namun kini yang menjadi pertanyaan "Apa yang
menyebabkan hutan philsup sekarang menjadi begitu mistis?"
Cukup banyak ensiklopedis yang memuat gambaran seperti apa
suku Renkra, bagaimana mereka hidup, dan mengapa mereka mendiami sebuah tempat
yang disebut sebagai Cincin Kematian. Namun tak ada satupun informasi yang
termuat didalamnya mengenai asal-usul tumbuhnya berbagai pohon besar di tengah
tandusnya tanah yang mereka pijak. Tapi ada satu kunci informasi didalam Kitab
Renkra yang mungkin bisa dijadikan patokan untuk mengungkap kebenaran itu
semua. Satu buah informasi di akhir kata penutup: “Apa yang kau inginkan adalah
hasrat yang kuinginkan!”.
Sakit sekali telinga masyarakat setelah mendengar kata
Philsup, hutan keramat yang tanahnya keras seperti kehidupan, akar akar pohon
yang memanjang dan berbelit serta ribuan benalu yang menggantung diatasnya.
Sangat riskan sekali jika hutan Philsup dimasuki seseorang, butuh ribuan nyawa
yang tercabut untuk satu orang yang memasuki dan mencari tahu hal-hal misterius
mengenai Philsup. Sebagai contoh, Mark Reck seorang ilmuwan dan peneliti dari
Washington DC yang tertarik akan kehidupan biologis yang jarang terlihat di luaran
sana. Namun sayang, niat baik yang ada tak berbanding lurus dengan beberapa
fakta kejadian dilapangan. Pertama, rombongan Mark Reck yang berjumlah 20 orang
terpencar dan terpisah sejauh puluhan kilometer secara misterius setelah berjalan
500 meter dari pintu masuk. Kedua, ditengah tersesatnya, Mark Reck menemukan
potongan mayat temannya tepat menggantung di bawah sebuah pohon besar selang
beberapa menit terpisah dari rombongan. Ketiga, hingga 1 tahun berlalu tidak
ada yang tahu kabar pasti mengenai Mark Reck walaupun telah dilakukan operasi
pencarian secara besar-besaran melalui udara. Entah apa yang terjadi padanya,
yang jelas kini masyarakat sekitar hutan Philsup berusaha untuk tidak mengingat
hal kelam itu, berharap peristiwa serupa tidak akan pernah terjadi lagi.
---------
Marry Kindee, Ibu Sang Penguasa Kedamaian
Keadaan 3 tahun lalu itu kini hampir lenyap dari permukaan
terbukti dengan masyarakat sekitar yang mulai perlahan-lahan memasuki hutan
philsup tanpa rasa takut, khawatir, was-was akan nyawa orang-orang yang
melayang acap kali menginjakan kaki ke dalam hutan philsup. Tak ada lagi kabar
menggemparkan mengenai hal-hal aneh yang sering terjadi seperti biasanya. Tak
ada yang tahu bagaimana seluk beluk kemistisan di hutan lenyap dalam seketika.
Namun masyarakat sekitar mulai mencurigai seseorang yang
baru saja tinggal didalam hutan tersebut. Seseorang yang rumah ilegalnya baru
saja tergusur oleh program pemerintahan, dan memilih tinggal dihutan karena
tidak mempunyai secuil harapan apapun bahkan untuk tinggal di pelosokan
terkotor kota sekalipun.
Rasa penasaran Frogen Snouth sebagai kepala suku desa
Philsup akan sosok seorang yang berani tinggal di dalam hutan Philsup membuat
Frogen mengintrogasi keras Mary Kindee yang namanya belakangan ini diketahui
sebagai sosok pemberani yang mendiami hutan philsup.
"Perkenalkan saya kepala desa Philsup. Anda Mary
Kindee? Kini Anda telah menjadi bahan omongan warga sekitar setiap harinya.
Boleh saya tahu siapa anda sesungguhnya?" tanya penasaran Snouth
Pertanyaan yang tergelincir keluar dibalasnya dengan
heningan sesaat. Sosoknya yang misterius sama besarnya dengan kemisteriusan dan
keanehan yang sering terjadi di tempat yang ia tinggali sekarang ini.
Perlahan Mary Kindee mulai menggerakan tangan kanannya,
menaikkan-nya hingga persis membentuk lekukan leher angsa tepat diukur dari pertengahan
lengannya. Tangan yang terangkat bak seorang penyihir yang siap dengan mantra
sihirnya, membuat tubuh Snouth yang telah renta gemetar hebat untuk tetap
berdiri dihadapannya. Dengan nada sedikit bergetar, Snouth berpamitan dengan
Mary melalui sebuah alasan klasik para suami, menepati sebuah janji dengan
istrinya. Padahal dibalik itu semua, jelas sekali Snouth tidak ada janji dengan
istrinya, ia hanya khawatir akan keselamatan dirinya yang terancam setelah
melihat secara langsung sosok Mary Kindee dan hanya ingin cepat cepat keluar
dari rumah yang penuh kemisteriusan itu. Puluhan kemisteriusan yang ditemui
Snouth saat mengunjung rumah Mary membuatnya tidak ingin menginjakan kaki di
rumahnya. Keanehan yang dialami mulai dari Mary Kindee sang penghuni rumah,
atap rumah yang tersusun dari dedaunan pohon kelapa yang telah mengering hingga
banyaknya gantungan-gantungan berbentuk aneh serta hal-hal lainnya yang
menambah kemistisan di setiap sudut teras rumahnya.
"Baru kutemui sekali dalam seumur hidup orang
se-misterius itu" Gumam Snouth ditengah perjalanan pulang kerumahnya.
Sisa rasa ketakutan sepertinya masih menyelimuti dirinya,
terlihat dari jalannya yang tidak teratur dan bibirnya yang biru membeku
bergetar layaknya orang yang berjalan di tengah musim dingin. Semuanya pun
kembali normal ketika ia keluar melewati pintu masuk hutan philsup. Disepanjang
perjalanannya banyak warga yang menegurnya walau cuma beberapa salam dan selamat
siang. Kerendahan hatinya dibalas dengan sapaan hormat kepadanya. Kebaikan dan
kedermawanan hatinya itulah yang membuat Snouth terpilih kembali menjadi kepala
desa hutan philsup, padahal bila dihitung-hitung hingga sekarang Snouth telah
menjadi kepala desa selama 15 tahun. Entah apa yang membuat warga memilihnya kembali,
tapi salah satu warga yang berpengaruh di desa philsup pernah menjawab
pertanyaan itu.
"Aku mengajak warga untuk memilih Frogen Snouth kembali
sebagai Kepala Desa secara terus menerus, karena Snouth adalah satu-satunya
orang didesa ini yang memiliki darah Crystalium. Kami sangat membutuhkan hal
itu"
Sepertinya karena itu, setiap warga yang bertemunya selalu
mengucapkan salam hangat. Salam-salam yang selalu menghampirinya sepanjang
perjalanan, hingga akhirnya berhenti setelah ia memasuki pintu pagar rumahnya.
Salam hangat pun kembali menghampirinya ketika ia membuka pintu utama rumah,
kali ini bukan dari warganya melainkan dari istrinya Sin Chroper dan anaknya
yang kini beranjak dewasa Mary Prosa. Senyuman hangat istri dan anaknya pun
terukir jelas di wajahnya bak mentari pagi yang baru terbangun dari singgasana
mewahnya.
"Hallo Snouth, darimana saja? kita telah menunggumu
untuk makan siang" kata pertama yang keluar dari Sin Chroper.
Lidah yang sedikit kaku, dan senyum yang terlihat dipaksakan
membuat Sin menurunkan goresan senyum di bibirnya dan bertanya mengenai keadaan
suaminya yang sekarang terlihat ketakutan.
"Ada apa dengamu Snouth?, kau terlihat berbeda"
Bingung akan pertanyaan istrinya sendiri, akhirnya Snouth
mengalihkan pembicaran dengan mengajak keduanya untuk segera menyantap makan
siang yang telah tertera rapih diatas meja. Namun lagi-lagi, muka penasaran
Snouth kembali terpancar dari wajahnya yang terlihat bingung setelah menemui
Mary Kindee di rumahnya, hutan philsup.
Dengan segera Sin menurunkan sendok logam persis dipinggiran
piring keramik sehingga bunyi nyaring tak terelakan dan terdengar di seluruh
sudut ruangan. Katakan padaku dengan jujur Snouth!. Rasa penasaran yang
menjurus membuat Sin bertanya kedua kalinya kepda Frogen Snouth. Entah apa yang
terpikir oleh lelaki tua itu, baru kali ini dia tidak menunjukkan sikap jujur
di depan istrinya sendiri.
“Kubilang lupakan!” Dua kata yang keluar ditengah pergerakan
mulutnya yang tengah mengolah makanan.
“ ……. Snouth, aku akan selalu ada di sampingmu”
Penjamuan yang sederhana ditutupnya dengan doa sebagai ucap
syukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya pada hari itu. Piring-piring
bersih bekas jamuan segera dibersihkan dengan tangan mulus Mary Prosa.
Sementara Snouth segera pergi menuju ke ruang kerjanya, tak biasanya dia
melakukan itu seusai penjamuan. Istrinya, Sin. Hanya memperhatikan setiap gerik
Snouth dari belakang punggungnya. Kernyit dahinya timbul ditengah mulut cangkir
yang menempel dibibirnya, apa yang dilihatnya kali ini berbeda. Sebuah urat
yang menegang keluar dari leher belakang kepala Snouth persis ketika kakinya
memandu dirinya ke sebuah ruang kerja yang tak jauh dari Ruang Penjamuan.
Baru saja Snouth mengambil pena-nya, sebuah ketukan
terdengar dibalik pintu kerjanya. Dengan menghela napas, ia beranjak dari kursi
kerja dan menghampiri sumber suara ketukan. Betapa tidak terkejutnya Snouth,
sosok Sin yang baru saja bertemu dengannya di Ruang Penjamuan kini menghampiri
dirinya di ruang kerja. Rupanya, Sin yang melihat keanehan pada Snouth
mengikuti gerak langkahnya menuju ruang kerja.
“Snouth bisa kita bicara sekarang?”
“Maaf Sin, masih banyak kertas-kertas yang harus kutanda
tangan
……..
“Hanya 5 menit, okay?”
“Baiklah Sin”
Keduanya mulai menempatkan bokong pada sebuah kursi empuk.
Sikap bijaksana Sin tidak pernah hilang, terlihat dari cara duduknya yang tegap
dan kedua buah tangan yang dipangkukan diatas pahanya.
“Snouth, apa kau lupa aku ini siapa?” tanya Sin
“Apa yang kau bicarakan Sin? Tentu saja kau Istriku”
“Bukan maksudku seperti itu, tapi, apa kau lupa darimana aku
berasal?”
Snouth yang bingung dan mulai kehabisan kata, hanya bisa
mengikuti setiap pertanyaan yang diajukan Sin
“Gunung Timur. Golongan Crystalium sama sepertiku” Terlihat
sekali dari setiap kata yang dieja menunjukan Snouth tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi pada istrinya. “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan Sin?
Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk membahas hal-hal tidak penting seperti
ini” tukas Snouth diikuti hembusan napas yang tak teratur.
“Snouth dengar, aku bisa melihat setiap pergerakan urat
lehermu yang menegang. Bahkan ketika kau berusaha untuk menutupinya, aku masih
bisa merasakan dari setiap perubahan garis wajah yang merubah rona-mu ……. Bisa
kau katakan apa yang sebenarnya terjadi?”
Sepertinya kehangatan yang selalu menyelimuti keluarga
Frogen Snouth, membuat Snouth lupa akan sosok Sin Chrpoer yang terkenal dengan
kemampuannya dalam melihat berbagai kondisi manusia. Mulut yang awalnya
terkunci, lidah yang tadinya bertulang kini berubah bak kibaran bendera di
tanah lapang. Ia mulai menjelaskan secara urut kejadian yang dialaminya.
Sementara mereka berbincang, Mary Prosa terlihat sibuk
memandangi tiap lekuk tubuh ayahnya dari ruang perapian. Prosa bisa merasakannya,
sebuah aliran berbeda yang kini tengah melingkupi tubuh ayahny. Agresif. Menekan
secara paksa pancaran miliknya. Prosa yang sedari tadi memicingkan matanya,
membuat dirinya gemas untuk segera menghampiri mereka berdua yang tengah asyik
bicara. Ternyata, pembicaraan usai sesaat Prosa menyapa Ibunya yang masih duduk
di kursi. Ayahnya, baru saja menutup engsel pintu kerjanya dari dalam ruang
kerja.
“Mom, boleh aku bertanya?”
“Ya, Prosa?”
………..
“Apakah Ayah baik-baik saja?”
“Tentu. Kenapa kau bertanya seperti itu Prosa?”
“Aku melihat sebuah cahaya agresif yang yang menekan aura
tubuh Ayah.”
….
Sin terlihat kaget apa yang dikatakan putrinya.
“Prosa, katakan pada Ibu… Bagaimana kau bisa melihatnya?.
.......
Prosa, berjanjilah pada Ibu… Jangan katakan hal itu pada Ayahmu!"
[BERSAMBUNG..........]
05.01 | Label: Cerbung, KPP | 0 Comments
WOW! Hunting Book KPP 14/15
Hay hay hay guyssssss!!!
Tadi lagi liat-liat galeri foto di hape mimin, eh ketemu foto-foto pas kpp 14/15 lagi hunting book di Istora Senayan Jakarta. ^_^
Sebenarnya Hunting Book-nya udah dilaksanain tanggal 2 November 2014 kemarin di Istora Senayan. (Tapi kenapa baru di share sekaraaanggg? -.-) Wkwkwk... Entah kenapa mimin baru nge-share nya sekarang wkwk. Mungkin mimin terlalu sibuk sama tugas tugas sekolah. hehe jadi mohon maaf ya..
Langsung cekidot aja dah,..
Jadi, sebelum bulan november yang lalu, KPP lagi sibuk-sibuknya tuh nyari bazzar buku termurah. Buku-buku yang dibeli nanti bakalan ditaro di perpustakaan sekolah kami tercinta, SMAN 1 DEPOK. Yeayyy.
Akhirnya....
Kebetulan, pada tanggal 1-9 November di Istora Senayan ada acara dengan nama Indonesia International Book Fair 2014. IIBF ini diadain setiap satu tahun sekali. Buku buku yang dijual disana tergolong murah pake BANGET. Nih, mimin kasih tau aja ya, buku yang tebal dengan cover licin mengkilat di jual dengan harga Rp20.000. NAHH KANN... o_o Copot copot dah tuh jantung ngeliat harganya saking murahnya wkwkwkwk. Tempat yang disedian panitia IIBF ini juga tergolong bersih dan nyaman, pelayanannya yang ramah, dan buku buku yang disediain berkualitas *_* (Hhhmm.. pengen kesana lagi rasanya wkwk)
-----------------------------------------------------------------------------
Oiya, mimin mau kasih tau nih teknis dan tujuan dari proker KPP yang satu ini, Hunting Book.
Jadi....
Kalo ngeliat buku buku diperpustakaan rasanya bosannn banget, kenapa? Karena bukunya itu itu lagi dan gak ada satupun buku yang ke-masa kini an. Akhirnya, muncul tuh ide KPP buat ngadain proker yang namanya Hunting Book, kebetulan kan KPP ini ekskul yang kerjanya ngurusin perpus dan seisinya. Jadi, kita merasa terpanggil tuh buat memperbaiki kualitas kualitas buku yang ada di perpustakaan biar pengunjungnya makin meningkat hehe...Tapi, itu sebenarnya bukan tujuan utama kita. Tujuan utama dari Hunting Book KPP adalah untuk mempererat tali kebersamaan antar sesama anggota pada khususnya, dan ikut berpartisipasi dalam meningkatkan minat baca di sman 1 depok pada umumnya melalui kegiatan ini.
Teknis-nya gimana cuy?
Jadi, sehari sebelum keberangkatan.. KPP survey dulu tuh ke satu sekolah lewat media sosial dan google docs tentang buku buku apa aja sih yang pengen dihadirin di perpustakaan dalam waktu terdekat ini. Setelah dapat datanya, baru deh KPP pergi ke Istora hehe...
Kalo boleh tahu, apa sih harapan KPP dengan diadainnya Hunting Book Ini?
KPP berharap dengan adanya buku buku baru di perpustakaan ini bisa menjadi motivasi buat siswa-siswi sman 1 depok dalam meningkatkan minat bacanya. Apalagi kalo KPP ngeliat mengenai minat baca yang ada di Indonesia saat ini, sangatttt jauuuh sekali tingkat perbandingannya dengan negara negara lain bahkan negara tetangga. KPP juga berharap, dengan adanya tulisan ini, orang lain bisa terinspirasi untuk melakukan hal serupa yang dilakukan KPP dalam meningkatkan minat baca. Aminnn.
Yuk, liat foto-foto KPP 14/15 pas lagi Hunting Book!
Buku buku yang berhasil didapat. Yeayyy!!!
Foto foto dulu ah mau berangkat nih wkwkwk ^)_(^
Nyok liat kebawah, dikit lagi sampe nih... hihihi ^_^
Huaaaaaaahhh capek rasanya wkwkwk, tapi asyik bisa seneng2 bareng yeayyy
00.50 | Label: KPP | 0 Comments
#Cerpen: "Anna & Aspen: He is commander, She is hero"
Anna & Aspen: He is commander, She is hero
(Afifah Nurul Karimah - XI MIA 2)
(Anna)
Garis-garis di bawah matanya nampak seperti polesan yang tangguh, tidak membuat ketampanannya luntur sedikitpun. Matanya lurus menatap ke depan, sosoknya berani menyongsong seluruh laksana penjuru, pasti di dalam hatinya tujunya hanya satu memperjuangkan tanah Port. Tanpa ada ketakutan akan mati yang selalu meghantui.
Ia bergerak tegap ke depan, langkahnya sejajar lurus arah vertikal. Suaranya lantang, menembus telinga siapapun yang mendengarnya. Meneriakkan pelurusan barisan para pejuang yang tengah berdiri tegak di atas hamparan batu-batu kerikil bertabur pasir, tepat di depannya membentang gunungan-gunungan gerak gelombang laut yang mengirimkan seruan harapan para bangsa Port.
Aspen, tak pernah sekalipun aku tidak mengingat namanya. Ia selalu menjadi bayang-bayang di kehidupanku selama dekade ini, tepatnya saat semua kondisi Port berubah, Port yang dulu tentram, kini terjajah. Semua yang berumur muda, seperti kami diharuskan tanpa pamrih mengabdi untuk bangsa Port. Dia, Aspen, sebagai panglima angkatan pemuda-pemudi kami. Dialah, Aspen, yang terkenal gagah berani. Dialah, Aspen, yang selalu dipuja, yang seluruh penjuru kota tau siapa dia. Dialah, Aspen yang pasti semua wanita takluk kepadanya.
“Panglima Aspen!” Aku mengangkat tanganku tinggi, menatapnya, berseru kepadanya. Kepadanya, yang selama ini lelaki yang selalu ku elukan terpendam dalam hatiku. Ia menjadi satu-satunya pemicu kobaran semangatku. Hanya satu ketakutanku, aku amat tidak ingin dia mati.
Ia melangkah, matanya kini fokus menatapku. Menghormati setiap siapapun yang ingin berbicara.
“Ada apa, Anna?”
Aku menghela nafas dalam-dalam, aku harus berani berpendapat, setidaknya ia tahu bahwa aku tidak hanya sekedar bekerja, tetapi aku peduli pada bangsa ini.
“Mereka pasti akan menyergap kita, sebentar lagi, beberapa hari lagi. Kita harus menyiapkan strategi yang matang dengan cepat.”
Aspen melangkah mendekat kepadaku. “Anna, terimakasih atas pendapatmu. Maka, kami akan segera melakukan itu, menyusun strategi sesegera mungkin.”
Aspen bergidik, dia kembali menuju depan dimana ia memimpin barisan. Ia berseru agar kami kembali ke pos masing-masing untuk beristirahat. Matahari sudah terbenam, dan esok pagi akan menjadi hari yang sibuk. Tetapi sungguh, malam ini, hasratku menggebu untuk dapat mendapatkan momen bersamanya. Setidaknya, hanya mendengar suaranya lebih dekat lagi.
—-
Aku tidak bisa tidur sama sekali, beberapa kali aku memejamkan mataku, hanya semakin memperburuk bayangan-bayangan dalam otakku, semuanya menakutkan. Aku memutuskan untuk mencari udara di luar, yang memuaskan adalah pos kami berada di sekitar laut. Aku sangat menyukai laut, semilir anginnya yang juara menyenangkan hatiku. Aku duduk menyelonjorkan kakiku di atas pasir laut yang masih putih, rambutku yang panjang melambai-lambai diajak menari oleh angin. Aku terdiam membisu, pikiranku berusaha kosong, tetapi tidak bisa, semakin hari, hati dan otakku semakin tidak akur, yang hanya menang adalah segala ketakutanku. Ketakutanku tentang dia yang akan mati.
Suara derap kaki orang melangkah mendekat, aku tidak berusaha mencoba mencari tahu siapa yang datang. Aku sudah terlalu pusing malam itu, biarkanlah hatiku tenang terlebih dahulu.
Kaki itu semakin dekat, aku tahu orang itu telah sampai dan tengah berdiri di belakangku. Aku bergeming, tidak berusaha menengok. Sampai, orang itu yang sedang berada tepat di belakangku memanggilku.
“Anna..” Ia pelan memanggilku. Aku mengenali suaranya. Segera, aku menengok ke belakang memastikan.
Benarkah itu Aspen? Aspen mendatangiku, malam-malam begini. Di saat hatiku sedang menggundahkannya, dia datang.
“A…as..aspen?” Aku sedikit terbata-bata, benar masih kaget.
“Sedang apa kau malam-malam disini? Ini waktu istirahat, lagipula kau perempuan, tidak baik tidak tidur malam-malam begini.”
Aku membuat keheningan sejenak. Gemetar, tidak tentu, aku benar-benar, aku tidak tahu, aku menyukainya.
“Hm…ya, terimakasih, Panglima Aspen telah mengingatkan. Tetapi, aku benar-benar tidak bisa tidur. Jadi, aku memutuskan untuk ke luar. Panglima sendiri, bukankah sebaiknya panglima tidur?”
Panglima Aspen mengalihkan pandangannya dariku. Tetapi, ia tetap berusaha menghormatiku dengan menjawab pertanyaanku.
“Sudahlah, masuklah ke dalam. Segeralah tidur, besok kami semua harus bersiap.”
Aku mengangguk samar, sedikit tersenyum membalasnya. Aspen tetap dengan wibawanya.
—-
“Segerakan semua yang harus disiapkan! Kita harus cepat, mereka sedang dalam perjalanan untuk menyerang pos-pos! Cepaaaat!” Teriak Panglima Aspen kepada seluruh pasukan pemuda yang tengah sibuk mempersiapkan segala halnya.
Pasukan dari negeri seberang, merekalah musuh di balik selimut. Benar-benar tidak tahu malu, serakah, mereka hanya menginginkan kekuasaan, sudah banyak keluarga kami yang mati bertumpah darah karena keserakahan mereka. Mereka sekarang ingin menghancurkan pos-pos kami, apa mereka belum puas dengan mengambil semua kebahagiaan keluarga-keluarga bangsa Port?
Kobaran semangat membara ke seluruh penjuru Port, kami semua yang tengah melindungi pos-pos kami, yang kami tidak akan pernah sudi, mereka menghancurkannya. Semua sibuk mempersiapkan persenjataan, mengemas logistik untuk persiapan perang, dan menyelamatkan barang-barang berharga lainnya. Aku menggendong anak-anak panahku di punggungku. Yang lainnya, ada pula yang tengah sigap dengan pedang di pinggangnya, yang lain lagi dengan pistol yang tersembunyi di balik belakang punggung. Aspen selalu dengan pedang saktinya, pedang yang membawanya menjadi panglima, sudah berapa musuh kami yang terbunuh oleh pedangnya.
“Panglima, mereka sudah di utara menuju pos. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Panglima?” Salah satu dari pasukan pemuda memberikan kabar terkini kepada Aspen. Kabar yang buruk, karena mereka sudah hampir dekat dengan pos kami.
Aspen bersikap tenang tetapi tetap waspada. Ia dengan cepat memerintahkan kami semua agar berkumpul membuat barisan. Ia berbicara dengan lantang.
“Sekian lama berbulan-bulan tidak ada pertumpahan darah. Hari ini akan ada pertumpahan darah. Bagaimanapun juga, kita harus siap. Hidup ataupun mati. Jangan sampai mereka menghancurkan pos pertahanan kita. Percayalah, bahwa kita mampu. Bersiaplah!”
Semua berseru mengikrarkan siap untuk hari pertumpahan darah ini. Aku bahkan tidak mampu untuk sekedar berkata siap untuk hari yang ternyata akan datang di hari itu, ketakutanku sampai pada puncaknya. Aku gemetar hebat. Aku berdiri terdiam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku bukan takut karena mati yang akan menyerang siapapun, tetapi aku takut, aku benar-benar takut apabila Panglima Aspen mati, meninggalkan kami semua tanpa dipimpin olehnya
Apa yang harus aku lakukan?
Aku memejamkan mataku, mengingat segala memori yang tertanam dalam otakku. Aku berbisik.
“Aku rela mati untuknya, dan untuk Port.”
—-
Pertumpahan darah benar-benar terjadi, bukan hanya prediksi. Ini nyata. Negeri seberang yang kejam mengerahkan seluruh kekuatannya, pasukan mereka lebih banyak dari kami, namun itu tidak akan meruntuhkan semangat dan optimisme kami. Kami percaya pada pedoman kami, berpegang pada prinsip kami, dan akan tetap terus berjuang sampai mati menjemput. Mereka lebih banyak menggunakan pistol-pistol besar dengan tipe-tipe teratas yang jika dibandingkan dengan pistol-pistol kami jauh menang mereka.
Tetapi, aku tidak pernah tidak percaya dengan anak-anak panahku. Anak-anak panahku tidak pernah mengkhianatiku. Seperti, Panglima Aspen mempercayai pedangnya.
Dengan segala keyakinan hati, aku memanjatkan ikrar tertinggi dalam benakku, aku siap berperang dengan anak-anak panahku hingga aku mati. Tetapi, asalkan Panglima Aspen tetap hidup. Aku mengambil sigap satu anak panahku di belakang punggungku. Siap ku lecutkan pada siapapun musuh yang mendekatiku. Aku berjalan waspada, diantara orang-orang yang sibuk dengan lawannya. Ada yang sudah terjatuh di tanah, mereka yang sudah mati. Tetapi, selama aku berjalan belum kutemukan pasukan pemuda yang terkapar di tanah tak sadarkan diri. Ini menambah keberanianku.
Aku menemukan sasaranku, musuh itu mendekatiku memperhatikanku yang sedang memegang teguh panahku. Ia dengan pistolnya, mengikuti gerakanku, seakan-akan berhati-hati dengan kecolongan yang kadang merasuki. Aku tetap fokus, menatap mata musuh itu lekat-lekat. Sedetik kemudian, aku hempaskan anak panahku tepat di jantungnya. Dia jatuh ke tanah, matanya terbelalak tanpa bernafas lagi.
Aku berhasil membunuhnya. Memang bukan sebuah kebanggaan, bahkan aku sebenarnya tidak ingin membunuhnya. Tetapi, ini demi sebuah kemerdekaan yang dirampas oleh mereka. Aku berhak membunuhnya.
Satu persatu mati tergeletak di tanah, semakin banyak, semakin tidak bisa dihitung oleh jari saja. Anak panahku berlumurkan darah dari setiap musuh yang berbeda-beda, baunya busuk, bau darah penjajah. Namun, juga tidak sedikit karib-karib pasukan pemuda yang juga telah menjemput ajalnya. Aku berjalan tak sadarkan air mataku terjatuh, mataku tidak berhenti mencarinya. Dimanakah Panglima Aspen? Aku harus segera melindunginya.
Panglima Aspen, itu dia tengah bertarung melawan pemimpin pasukan musuh. Aku berhati-hati, mencoba dengan cermat mengenali gerak-gerik lawannya tersebut. Aku memperhatikan di balik semak-semak, bersembunyi gerilya. Mataku benar-benar tidak berpaling, mengawasi sekitar.
Hingga mataku menangkap sesuatu yang hampir-hampir saja membuat aliran darahku seakan-akan berhenti, detak jantungku merangsangku untuk melompat, dan kantung air mataku tiba-tiba saja seperti berat membendung air bah yang segera mengajak turun. Ada seseorang yang tak dikenal di belakang Panglima Aspen, berjarak satu meter di belakang punggungnya disaat ia sedang sibuk bertarung dengan lawannya. Aku duga, pasti ini adalah rancangan akal-akalan dari pihak musuh untuk mengelabuhi kita.
Aku segera berlari tanpa pikir panjang, keluar dari semak semak itu dengan panahku yang siap ku ayunkan kepada orang tidak di kenal itu. Namun, rupanya orang yang tidak di kenal itu lebih dulu melihatku yang akan menyerangnya.
Aku masih memegang panahku erat di tangan. Orang tidak dikenal itu bersiap mengayunkan tombaknya, kini mengarah kepadaku. Aku terpaku. Aku sekilas melihat Panglima Aspen menengok ke arah belakang, menyadari terjadi sesuatu yang berbahaya menghadapiku.
Tetapi, sungguh sayang, itu mungkin saat terakhirku melihat wajahnya yang tampan dengan perangainya yang tetap tenang dan gagah berani. Panglima Aspen yang selama ini, aku memendam rasa terhadapnya. Yang membuatku berdiri disini tangguh dengan anak panah di tanganku, hanya untuk melindunginya dari bahaya yang akan menyerangnya.
Panglima Aspen, walau baru saja kemarin malam, hanya beberapa menit sangat terasa sebentar namun aku hanya mencoba bersugesti bahwa kemarin malam terlama yang indah berbincang denganmu. Disaat aku sangat dekat denganmu, kau berbicara padaku terlebih dahulu, kau mendatangiku, menyuruhku untuk tidur tepat waktu. Aku mencintai Panglima Aspen, sejak dari dulu. Ku harap, mungkin detik ini kau menyadarinya.
Tombak itu tepat tertuju padaku, meluncur dengan kecepatan yang entah berapa, pasti sebentar lagi akan menusukku. Tak ada lagi kesempatan waktu untuk menghentikan tombak itu untuk melenceng jauh dari hadapanku, namun aku selalu yakin tak ada yang tidak mungkin dengan anak panahku. Aku meluncurkan segera anak panahku tepat tertuju pada orang yang telah mengirimkan tombak kematian itu kepadaku. Panahku meluncur berkebalikan arah dengan tombak yang meluncur.
Semua memori tentangnya, Panglima Aspen, mengalir dengan cepat di otakku, aliran darahku seakan-akan sudah tidak lagi mampu untuk menopang tubuhku, energiku seakan-akan habis seketika tak mampu berdiri, jantungku seakan-akan melemah mengadu tidak mampu memompa lagi darah untukku, nafasku sekejap sesak tidak mampu lagi menghirup udara yang sama dengannya, dan mataku mengajakku untuk terpejam seperti yang Panglima Aspen pesankan padaku semalam, agar aku tidur tepat waktu.
Kini, aku akan tidur tepat pada waktunya, Panglima Aspen. Tidur untuk selamanya, karena tujuanku telah tercapai dan seandainya surga menantiku, aku telah siap menuju langit menghadap Tuhan-ku.
—-
(Aspen)
Tombak itu tepat mengenai jantung Anna. Anna terjatuh lemas di tanah, matanya terpejam seketika, namun bibirnya tersenyum. Cantik sekali rupanya, bahkan disaat kematian menjemputnya.
Aku melihat dimana saat Anna menjemput kematiannya. Dia telah menyelamatkanku, dia telah menerima kematian yang seharusnya milikku. Aku yang dikenal gagah dengan wibawaku yang tak pernah luntur, kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan tangisanku melihat kepergian Anna.
Anna, bagaimana mungkin secepat ini kau meninggalkanku? Aku yang selama ini juga mencintaimu. Tetapi, aku tak pernah ingin menunjukkannya kepadamu. Seharusnya aku yang mati, seharusnya aku yang menjagamu, menyelamatkanmu, menghormatimu, Anna.
Aku menjatuhkan badanku, aku terkulai lemas di antara dua mayat. Mayat yang membunuh Anna, mayat yang dibunuh Anna. Anna mati dengan kesucian dan keberanian, ia mati untuk menyelamatkanku, menyelamatkan seluruh Port, dan ia mati tanpa kekalahan, ia juga berhasil membunuh orang yang juga telah membunuhnya.
Aku mendekati Anna yang telah tertidur untuk selamanya, aku menggenggam tangannya kuat-kuat seraya menangisi kepergiannya. Anna yang aku cintai, semenjak pertama kali aku bertemu dengannya. Bahkan mungkin, aku lebih dulu mencintainya daripada ia.
—-
Semenjak peristiwa kepatriotan Anna, semua orang begitu menyanjung namanya. Dengan kepergiannya, yang dulu ia bukan siapa-siapa, kini ia menjadi seorang yang hebat yang dikenang. Bahkan, aku sendiri masih merasa kalah dan malu terhadapnya.
Karena itu, aku bertekad untuk selalu mempertahankan dan mengabdi kepada bangsa Port untuk pasukanku, untuk segalanya, dan untuk Anna disana. Ini sebagai balas budi cintaku untuknya, dan aku akan tetap memperjuangkan kemerdekaan Port, demi harapannya yang besar ia titipkan kepadaku.
Ku genggam anak panah peninggalan Anna di tanganku kencang, berdampingan dengan pedangku yang selalu setia menemani perjuanganku. Aku berbisik, berharap angin mengirimkan pesanku menuju langit.
“Aku siap berperang untukmu.”
19.43 | Label: Cerpen Smansa | 0 Comments
#Cerpen "Mission (AlShill)"
MISSION (AlShill)
(Devi Argina Fitriyani - XI IIS 1)
Namanya Alvin Jeremy.”
Manik coklat gelap itu menatap lekat-lekat selembar foto di tangannya. Sementara telinganya terfokus pada kata demi kata yang terlontar dari mulut sang Ayah, Ayah kandungnya.
“Dengarkan...”
“Dekati dia.”
Matanya kembali menatap foto di tangannya. Dia, seorang Alvin Jeremy.
“Mengendaplah dalam hidupnya.”
Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya.
“Curi dan genggam hatinya.”
Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.
“Kemudian...”
Ini tak dapat dipungkiri, dia sangat tampan.
WUSSHHHH
“...Bunuh dia tepat di jantungnya.”
***
Dia menghela napas sebentar, kemudian beralih menatap jam tangannya. Dan setelahnya ia mempercepat langkahnya.
BRUUUKK
Alvin Jeremy.
“Ehm... Maaf aku tidak sengaja.” Lelaki itu menggaruk tengkuknya. “Sekali lagi maaf rrr...siapa namamu?”
Gadis itu menghembuskan napas panjang. Matanya bergerak-gerak gugup meski wajahnya tetap datar, sama sekali tak kunjung berubah. Ada yang aneh di sini.
“Shilla, Ferly Ashilla.”
“Ah, maaf Shilla. Namaku, Alvin Jeremy.”
“Permisi?” Tangan Alvin berkibas di depan wajah Shilla. Gadis itu tersentak bersama dengan pemikirannya yang amburadul seketika. Wajahnya masih datar, meski pada nyatanya ia merutuk dalam hati atas kebodohannya.
“Ah-Oh-Iya, tidak masalah, mmm...Alvin.”
“Salam kenal, Shilla.”
“Ya.”
***
Manik coklat gelap itu menatap lekat-lekat selembar foto di tangannya. Sementara telinganya terfokus pada kata demi kata yang terlontar dari mulut sang Ayah, Ayah kandungnya.
“Dengarkan...”
Gadis itu mendongak. Menampakkan wajah cantik menawannya yang terlihat siluet akibat sinar matahari sore merambat lurus menembus jendela besar di sampingnya. Angin yang berhembus-hembus nakal menyelonong masuk dari celah jendela, menggerakkan mahkota kepalanya yang terikat satu dengan asal.
Manik matanya yang coklat gelap sangat cocok bersanding dengan hidung kecil namun mancung, dengan bibir delima berwarna merah pekat bagai darah, dan dengan kulit putih yang kelewat putih —yang justru menunjukkan kesan pucat. Wajahnya datar dengan tatapan yang kian menajam. Namun, tetap tidak menenggelamkan paras cantik milik gadis bercardigan hitam saat ini.
Lelaki paruh baya di belakang meja bundar itu menyeringai, menantang tatapan tajam ‘Putri Kesayangannya’ . Meski itu setajam pedang bermata dua, tetap tak berarti apapun baginya. Ia sangat paham, putrinya ini seorang yang kooperatif.
“Dekati dia.”
Matanya kembali menatap foto di tangannya. Dia, seorang Alvin Jeremy.
“Mengendaplah dalam hidupnya.”
Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya.
“Curi dan genggam hatinya.”
Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.
“Kemudian...”
Ini tak dapat dipungkiri, dia sangat tampan.
WUSSHHHH
“...Bunuh dia tepat di jantungnya.”
***
Wajahnya tampak tenang. Begitupun dengan langkah kaki jenjangnya yang tertutupi jeans berwarna hitam. Dibahunya tersampir tas selempang berwarna Baby Blue, sementara tangannya memeluk beberapa buku tepat di depan dada.
Seperti biasa, coklat gelap itu menatap dengan awas apapun yang ada di sekitarnya, berusaha menyembunyikan ketajaman itu rapat-rapat. Dalam telinganya, sebuah pesan yang ia terima pagi ini terputar kembali. Seolah mengingatkannya agar tidak lupa. Tidak lengah. Tidak salah langkah.
Dia menghela napas sebentar, kemudian beralih menatap jam tangannya. Dan setelahnya ia mempercepat langkahnya.
BRUUUKK
Dua tubuh manusia itu berbenturan, saling menjauh lagi dan terjatuh bersamaan dalam seperkian detik. Buku dalam pelukannya berserakan, yang kemudian dengan sigap telah tersusun lagi dalam pelukannya. Satu buku lagi yang belum ia ambil, dan buku itu berada tepat di depan sepasang sepatu, dengan sang empunya yang nampak sudah berdiri lebih dulu selepas insiden barusan.
Gadis itu segera mengambilnya dan menaruhnya dalam pelukannya. Buru-buru ia berdiri, mendongak untuk melihat pelaku —atau korban?— dalam Insiden yang baru saja terjadi. Tangan kirinya menyibak poninya sejenak sebelum akhirnya menumbukan coklap gelapnya pada sepasang hitam pekat di hadapannya.
Hidung kecil namun mancung itu menahan napas kala mendapati apa yang ia lihat dengan kepala matanya sendiri. Lelaki bermata sedikit sipit, dengan manik hitam pekat menghuni di dalamnya. Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Dengan paras oriental berkulit putih.
Alvin Jeremy.
Keduanya terdiam cukup lama. Tak ada yang berani menginterupsi duluan. Desah angin di sekitar mencoba mengajak mereka mengeluarkan suara, sayangnya sia-sia. Bungkam seribu bahasa, namun mata mereka seolah saling berbicara. Meski tak ada Doraemon dengan mesin waktunya sekarang, tapi mereka seperti merasa waktu terhenti cukup lama. Cukup lama hingga sepertinya kebisuan ini harus segera berakhir.
“Ehm... Maaf aku tidak sengaja.” Lelaki itu menggaruk tengkuknya. “Sekali lagi maaf rrr...siapa namamu?”
Gadis itu menghembuskan napas panjang. Matanya bergerak-gerak gugup meski wajahnya tetap datar, sama sekali tak kunjung berubah. Ada yang aneh di sini.
“Shilla, Ferly Ashilla.”
“Ah, maaf Shilla. Namaku, Alvin Jeremy.”
Shilla meneliti sosok di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Alvin Jeremy, Shilla sudah mengetahuinya lebih dulu. Bahkan seluk beluk Alvin yang tak terpublish juga sudah ia pahami. Alvin Jeremy, Mahasiswa semester 3 jurusan Managemen Bisnis. Alvin Jeremy, anak tunggal dari pasangan Tuan dan Nyonya Jeremy. Alvin Jeremy, Pewaris tunggal bisnis keluarga Jeremy. Alvin Jeremy, lelaki yang lebih suka menganggap dirinya sebagai ‘anak-ayahnya’ daripada ‘anak-Tuan-Jeremy-Pebisnis-Sukses-Nan-Terkenal’, dia tidak sombong dan sederhana. Itu hanya sebagian yang akan disebutkan, sementara sisanya lebih baik ditulis daripada disebutkan.
“Permisi?” Tangan Alvin berkibas di depan wajah Shilla. Gadis itu tersentak bersama dengan pemikirannya yang amburadul seketika. Wajahnya masih datar, meski pada nyatanya ia merutuk dalam hati atas kebodohannya.
“Ah-Oh-Iya, tidak masalah, mmm...Alvin.”
Tangan Alvin mundur dari posisinya, kemudian beralih pada tengkuknya untuk sekedar menggaruknya meski itu tidak gatal. Seulas senyum bersahabat terulas di wajah Alvin. Shilla terpana untuk sejenak. Hanya sejenak, karena detik berikutnya ia buru-buru menyadarkan diri.
“Salam kenal, Shilla.”
“Ya.”
***
Kedua mata Shilla fokus memperhatikan jajaran buku di hadapannya. Sesekali diambilnya salah satu buku di sana, kemudian ditaruhnya kembali dengan senyum miris. Dulu Shilla bercita-cita ingin menjadi dokter, sama seperti kebanyakan cita-cita anak sebayanya. Kenapa? Karena ia ingin menyembuhkan teman-temannya? Tidak juga. Shilla dulu punya Ibu, iya, dulu sekali ketika ia masih belajar di taman kanak-kanak. Ia memang masih kecil kala itu, tapi bukan berarti ia bisa dibodohi. Ia bahkan mengetahui penyebab kematian ibunya. Ibunya yang ternyata lebih dulu pergi sebelum ia berhasil menjadi dokter.
Lantas, apa setelah itu cita-citanya sirna? Tidak. Tidak sama sekali. Justru karena itu ia semakin ingin menjadi seorang dokter. Menyembuhkan orang-orang, agar bisa membuat ibunya bangga padanya. Tapi...dalam perjalanan waktu, lingkungan sekitarnya justru membentuknya menjadi pribadi yang melenceng dari harapan awal. Mengingat ia sekarang menjadi apa justru membuat ia merasa miris. Keinginan tidak sesuai kenyataan.
Ini buku keempat yang Shilla ambil, dan pada akhirnya bernasib sama dengan yang sebelumnya —kembali ke tempat semula tanpa sempat dibaca. Percuma saja, pikirnya. Nasi telah menjadi bubur, arang telah menjadi abu, semuanya sudah menjadi hal yang tabu. Tak dapat kembali seperti semula dan menjadi sesuai harapan. Begitu kan siklusnya?
Ia membalik badan. Matanya membulat dan nafasnya tertahan seketika ketika puncak kepalanya terantuk dagu dengan rahang yang tegas. Shilla menghembuskan napas sebentar sebelum akhirnya mendongak. Alvin Jeremy.
“Aku sedang mencarikan buku tentang kedokteran untuk temanku. Hari ini dia tidak masuk, hah... merepotkan. Kamu sendiri sedang apa?”
Shilla mengangkat wajahnya, coklat gelapnya bersibobrok dengan si onyx. “Tidak ada, hanya sedang ingin kemari.”
Entah bagaimana bisa, setelah Shilla mengetahui sosok si pemilik dagu itu adalah Alvin, mereka jadi duduk berhadapan di meja perpustakaan dekat jendela. Tak ada buku menemani mereka, hanya mengobrol ringan di perpustakaan. Mungkin tak ada salahnya menyalahgunakan fungsi perpustakaan. Ah, benarkah begitu?
***
Katakan bahwa telinganya salah mendengar. Katakan bahwa nefronnya tidak sedang berfungsi dengan baik. Katakan bahwa tubuhnya sedang dalam bayang-bayang mimpi. Katakan sekarang!
Ia menoleh cepat pada sosok di sampingnya. Wajah oriental itu menghadap lurus dengan matahari yang tengah beranjak ke peraduan. Semburat jingga menimpa wajahnya dengan indah. Angin laut mengisi suasana di antaranya. Jadi, untuk ini Alvin mengajaknya ke pantai?
Shilla sungguh jelas merasakan dadanya bergemuruh. Darahnya memanas, dan terasa paling panas di sekitar daerah wajahnya. Hatinya berdesir seirama dengan detak jantungnya yang berdetak cepat. Tidak, ini salah! Tidah seharusnya Shilla begini! Ini aneh! Demi apapun, bahkan baru 4 bulan setelah pertemuan mereka.
“A-a-apa?” Shilla tergagap. Shilla telah lupa dan ia lengah.
“Aku mencintaimu, Shilla. Jadilah kekasihku?” Alvin menoleh dengan seulas senyum menawan.
Jangan menoleh. Tidak! Atau kau akan lupa, lengah dan kemudian salah langkah. Shilla mati-matian untuk menahan hasratnya agar tidak menoleh. Jangan lagi lupa dan juga lengah apalagi salah langkah. Sesuatu dalam diri Shilla sudah terlalalu jauh.
Manik coklat gelap Shilla perlahan tertutup oleh kelopak mata Shilla. Ia mencoba berfikir jernih dalam pejaman matanya. Semuanya harus dipikirkan matang-matang. Jangan lagi salah, Shilla. ingat tujuan Awal. Mati-matian Shilla memperingatkan dirinya.
“Baiklah.”
Senyum Alvin terkembang lebar. Benarkah cintanya terbalas? Shilla telah menjadi kekasihnya?
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
Tidak ada balasan, meski Shilla ingin, sama sekali tidak ada. Hanya menanggapi dan setidaknya itu cukup. Shilla sudah terlalu jauh salah langkah. Jangan melangkah lebih jauh lagi.
Tidak dan semuanya aman.
***
CUP
Seperti biasa, Shilla masih bertahan di balik topeng datarnya ketika Alvin mendaratkan kecupan ringan di pucuk kepalanya. Sementara Alvin tetap mengulas senyum. Bohong jika Alvin tidak sadar, sejak awal ia sudah merasa ada yang aneh dari Shilla. Ia jelas merasakan itu. Toh, pada akhirnya ia tetap tidak peduli pada apapun. Shilla menjadi kekasihnya, itu sudah cukup. Alvin tidak menuntut balas apapun atas rasa cintanya.
Jika memang Shilla belum —atau mungkin tidak?— mencintainya, bagi Alvin ini mudah. Sama halnya seperti menanam. Cinta seperti sebuah bibit, cinta mudah ditanam jika dirawat dengan baik, dan tentunya ditanam dalam tanah yang cocok. Mungkinkah hati Alvin itu adalah tanah yang cocok? Tidak peduli iya atau tidak, Alvin akan tetap berusaha. Cinta telah membuatnya jadi begini.
“Masuklah, ini sudah malam.”
Shilla mengangguk, tersenyum sekilas dan kemudian berbalik badan sesuai perintah Alvin.
“Shill...” Alvin berujar, membuat Shilla dengan gerakan ragu menghadapkan tubuhnya lagi ke Alvin. Alvin masih dalam posisinya, di atas motornya, tak bergeser sedikitpun.
“Aku...” Alvin meneguk ludahnya sendiri.
Shilla? Gadis itu pintar sekali bersembunyi di balik topeng sempurnanya sekarang.
“Aku... aku pulang dulu.”
Hanya sebuah anggukan dengan senyum sekilas yang Alvin dapat setelahnya. Alvin mendesah dalam diam, memandang kecewa punggung Shilla yang kian menjauh dari hadapannya. Alvin tidak meminta sebuah pelukan hangat maupun sebuah kecupan manis. Tapi, setidaknya katakan sesuatu yang membuat Alvin tenang.
Merasa memang percuma, ia memulai menghidupkan mesin motornya. Shilla telah benar-benar menghilang dari hadapannya, ia tidak akan mendengar apapun saat ini dari bibir Shilla. Percuma saja. Roda dua itu mulai bergerak dengan seiring desahan kecewa dari Alvin.
Setidaknya, katakan bahwa kau mencintaiku.
***
Pintu bercat seputih tulang itu terbuka kembali, seseorang yang sedari tadi menunggu di balik pintu menyembulkan tubuhnya. Penglihatannya fokus menatap kendaraan beroda dua yang baru saja menghilang di balik tikungan dan meninggalkan asapnya saja. Gadis itu tersenyum miris, juga sakit.
‘Hati-hati di jalan. Aku mencintaimu.’
Kalimat itu akhirnya terucap juga. Yang sedari tadi ditahannya terlepas juga. Meski tidak secara langsung di hadapannya, beginipun sudah cukup. Ya, karena dengan begini semuanya tetap aman dan terkendali.
Shilla menutup pintu rumahnya untuk yang kedua kalinya. Membalik badan dengan hati-hati lantas menyandarkan punggungnya pada pintu. Matanya melirik ke langit-langit rumahnya. Lagi-lagi ia menghela napas, entahlah akhir-akhir ini ia sering sekali menghela napas. Jengah. Kapan ini akan segera berakhir, itu yang selalu Shilla tanyakan dalam hati usai menghela napas.
“Ciuman yang manis, hm?”
Suara berat itu menghentikan langkah Shilla ketika melewati ruang tamu, tepat saat kaki kanannya baru saja menapaki anak tangga pertama. Shilla tidak berniat sama sekali menyahut apalagi menoleh untuk sekedar sentuhan hormat pada orang tua. Terlalu lelah untuk hari ini. Menoleh sekali saja, semuanya akan semakin terasa melelahkan.
Di belakang sana, lelaki paruh baya itu memperhatikan lekat-lekat punggung putrinya yang semakin hari semakin tumbuh dewasa. Pandangannya tajam dengan aura hitam di sekitarnya. Mengerikan. Dengan sekali melihat saja, semua orang pun akan bergidik ngeri. Dan orang pun akan tahu darimana Shilla mendapatkan tatapan matanya yang tajam.
“Shilla... Jangan pernah melanggar aturan mainnya.” Ucap sang Ayah dengan kalem, namun menohok.
Shilla tersentak kecil. Jelas sekali maksud dari kalimat ayahnya. Diam-diam Shilla tersenyum kecut. Alih-alih tersenyum, ia mengangguk tanpa menoleh barang seinci pun, terlalu lelah untuk itu, ingat?
Shilla mengerti, dan Shilla tahu.
“Aku tau, Ayah.”
Shilla tahu bahwa ia memang telah jatuh cinta.
***
Mata elang berwarna coklat gelap milik Shilla bergerak gelisah. Sesekali memandang jalan setapak di belakangnya yang kemudian bertumpu lagi pada mobil hitam metalik di depan sana. Entah mengapa ia merasakan rasa takut yang begitu besar saat ini. Terlebih lagi saat ia mendapati beberapa pasang mata memperhatikannya dari dalam mobil itu. Hingga pada akhirnya, fokus mata Shilla tertuju pada tanah yang dipijakinya saat ini, berharap tanah itu menenggelamkannya sekarang juga.
Oh, Waktu bergerak mundurlah, atau... berhenti saja.
SRET
Gelap.
Apa matahari meredup?
Cukup terkejut juga saat mendapati pandangannya mendadak gelap. Sayangnya, itu tak berlangsung lama, karena setelah itu tangan Shilla merambat perlahan ke bagian wajahnya, dan menemukan tangan kekar melingkari matanya. Shilla tersenyum tipis, hampir tak terlihat.
“Alvin?”
Seseorang di belakang Shilla terkekeh, lantas setelahnya mengacak rambut Shilla kemudian merangkul dan menarik Shilla untuk mendekat.
“Kamu tau, ya?” Dia terkekeh lagi, Shilla yang melihatnya hanya tersenyum.
Kini tangan Alvin membingkai wajah cantik Shilla. Tersenyum sebentar, sebelum akhirnya berganti menjadi muram. “Aku... lama, ya? Maaf, ya.”
Shilla terdiam. Matanya lekat memandang wajah Alvin. Merekam tiap inci sosok di hadapannya dengan sangat baik. Takut-takut jika esok tak dapat melihatnya lagi, atau bahkan justru takkan pernah melihatnya lagi, yang berarti ini hari terakhirnya. Bibir Shilla bergetar, alih-alih getaran itu berhenti karena Shilla menggigitnya kuat-kuat. Seandainya Alvin tahu, Shilla amat takut saat ini.
“Hei, Shill—“
GREP
Tangan Alvin membentang lebar begitu juga dengan mulutnya yang menganga. Matanya yang sipit terpaksa membulat —meski hasilnya sia-sia— karena begitu terkejut dengan pelukan Shilla yang tiba-tiba.
Butuh waktu lama untuk saraf-saraf Alvin mencerna apa yang terjadi. Hingga Alvin merasakan pelukan Shilla mengerat, barulah ia dapat menyimpulkan semuanya.
Alvin tersenyum bahagia. Tangannya perlahan ikut melingkar di tubuh Shilla yang tidak lebih tinggi darinya. Mengusap punggung yang terasa begitu rapuh itu dengan lembut. Dalam pelukan ini, tak terlihat namun terasa, mereka menyalurkan perasaan mereka masing-masing. Hangat.
Cinta yang sederhana itu memang benar nyata. Hanya melalui sebuah pelukan ringan, kekuatan cinta itu begitu terasa. Tidak perlu kata-kata romantis jika berikutnya hanyalah omong kosong belaka. Tidak perlu mengikat janji jika berujung dengan pengingkaran dan air mata. Juga tidak perlu benda pengikat jika pada akhirnya menggores luka. Cinta tidak perlu sesuatu yang berlebihan. Ketulusan dan kesederhanaanlah yang membuat cinta menjadi sesuatu yang terlihat ‘LEBIH’.
Begitu juga halnya dengan Alvin. Cinta Alvin hanya memerlukan balasan dari Shilla, bukan kata-kata yang omong kosong, janji yang palsu, apalagi benda pengikat yang justru menyiksa. Karena bagi Alvin, aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Aku tulus, kamu pun tulus. Aku menerimamu dan kamu menerimaku. Sederhana.
Dalam dekapan Alvin, kaki Shilla gemetar, itulah mengapa ia mengeratkan pelukannya. Shilla terlalu peka, hingga makhluk hidup di belakang sana yang berjalan mendekat pun Shilla merasakannya.
SRET
BUGH
DUAGHH
Dua pria bertopeng dengan tubuh kekar menarik Shilla dari pelukan Alvin. Alvin yang melihatnya seketika merasa marah, ingin menyerang jika saja dua orang lagi tidak menahannya. Dengan beringas, Alvin memberontak. Sayangnya, Alvin jelas melakukan hal yang justru sia-sia, tenaga Alvin berbanding jauh dengan dua orang pria tersebut.
Sementara itu, Shilla justru terlihat pasrah-pasrah saja ketika tubuhnya diseret paksa dua pria yang sejujurnya, Shilla mengenalnya. Ia tahu ini akan terjadi. Dan inilah hal yang benar-benar membuat Shilla merasa takut sedari tadi.
Shilla menoleh cepat ketika mendengar Alvin meneriaki namanya berkali-kali. Wajah Alvin sudah babak belur dengan memar di ujung bibirnya dan luka berdarah di pelipisnya. Tubuh Shilla semakin bergetar, nuraninya memerintah kaki Shilla untuk berbalik dan menghampiri Alvin. Baru saja ingin melangkah, Shilla harus ditarik paksa lagi untuk masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Alvin yang masih ditangani —Disiksa lebih tepatnya— oleh dua pria kekar. Shilla yakin itu... Bodyguard ayahnya.
Di dalam mobil, dua lelaki yang menangani Shilla itu menghempaskan tubuh Shilla ke jok belakang dengan kasar. Shilla mendengus begitu terhempas. Dan baru saja hendak mengeluarkan protes, mulut Shilla bungkam begitu saja ketika dihujami tatapan beraura hitam menyeramkan dari Ayahnya yang duduk di sebelahnya.
Shilla akhirnya memalingkan wajah menjadi menghadap jendela. Hampir saja kaca di samping Shilla pecah jika saja Shilla tidak ingat dimana dan dengan siapa dia sekarang. Bibir Shilla lagi-lagi bergetar melihat pemandangan di luar sana. Tulang belikat Alvin yang dihantam keras dengan siku, perut Alvin yang dihujani kepalan tangan juga tidak lupa wajahnya hingga membuat wajah Alvin bermandikan darah. Puncaknya ketika Alvin memuntahkan darah dan kemudian tak sadarkan diri. Saat itu juga, Shilla ingin melakukan sesuatu, tapi urung.
Tidak boleh! Sudah sejauh ini, dan ini janjinya.
***
Dua lelaki itu masih betah beradu pandangan tajam satu sama lain. Tak sedikitpun beranjak dari posisi mereka yang berdiri di atap sebuah gedung. Salah satu dari mereka mengepalkan tangannya keras, menahan sebuah amarah yang memusat di sana. Sementara yang satu lagi, menggertakkan giginya, menampakkan rahang tegas yang menantang.
Gabriel —sosok yang mengepalkan tangannya— membuang wajah pada akhirnya, napasnya naik-turun akibat menahan amarah juga menahan diri untuk tidak melayangkan kepalan tangan pada wajah di depannya.
“Sivia istriku. Berhentilah mengganggu kami, Riko Jeremy!”
Riko —Lelaki dengan rahang tegas yang menantang—menyeringai. Wajahnya mulai melunak, tidak setegang tadi. Seraya memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, ia beranjak pergi. Pergi tanpa peduli dengan Gabriel, Sahabatnya—yang sekarang menjadi musuh terbesarnya— dengan wajah merah padam.
“Jika aku tidak bisa memilikinya, begitu juga denganmu. Ini adil. Aku akan membuat kita tidak ada yang memiliki Sivia. Aku, maupun dirimu, Gabriel Miracle. Tidak ada dan tidak boleh.”
Gabriel menggeram.
“Well, kupikir akan lebih seru lagi melihat putrimu tumbuh dewasa tanpa seorang ibu.”
BUGH
“Ayah?”
Siaran ulang di masa lalu pada benak Gabriel terputus seketika kala sebuah suara mengusik masuk ke dalam telinganya. Gabriel mengusap wajahnya, lantas mengangkat wajahnya untuk sekedar menoleh pada sumber suara. Wajahnya tampak datar, ah lebih tepatnya berpura-pura datar jika diperhatikan lekat. Sosok yang di panggil dengan sebutan Ayah oleh Shilla menegapkan posisi duduknya dengan tenang, seolah tak ada yang membebaninya saat ini. Ah, ternyata kepandaian berpura-pura milik Shilla diturunkan dari ayahnya.
“Apa yang ayah pikirkan?”
“Tidak ada.”
Shilla mengangkat sebelah alisnya, nampak tidak puas dengan jawaban Ayahnya. Sejak kecil, lebih tepatnya sejak Ibunya berpulang, Ayahnyalah yang memegang peran ‘Ayah dan Ibu’ dalam hidupnya. Dan hal ini membuat Shilla sangat mengenal sosok Ayahnya luar dan dalam. Wajar saja jika ia merasa ada yang aneh pada ayahnya.
Baiklah, Shilla menghela napas. Jika dalam situasi seperti ini, lebih baik mengunci mulut untuk tidak bertanya lebih lanjut. Shilla sangat mengenali ayahnya. Ada sesuatu yang tidak bisa dibagi dengannya. Shilla mengerti itu.
“Shilla, kamu mencintainya?”
Gadis bersurai hitam legam yang baru saja mendudukkan diri di samping Ayahnya merespon dengan kebisuan. Matanya memandang ayahnya sebentar, kemudian beralih menatap sosok tak berdaya yang terikat pada kursi di tengah ruangan. Shilla menghirup napas sebanyak-banyaknya, berusaha mengisi kesesakan pada paru-parunya, lantas menghembuskannya dengan kasar.
“Jangan bertanya, Ayah.”
Karena mencintainya atau tidak, semuanya tetap tidak akan berubah. Bukankah begitu aturan mainnya?
***
BUGH
Alvin meringis merasakan nyeri di pipi bagian kirinya. Tubuhnya benar-benar lemas, bahkan ia tidak merasakan adanya energi dalam tubuhnya, yang ada hanyalah rasa sakit dan nyeri di tubuhnya. Jadi, melawan pun Alvin tak bisa jika tubuhnya lemas dengan kondisi seperti sekarang.
“Kenapa Anda mel—“
DUAGH
Kali ini tepat di perutnya, lutut dengan betis berotot di bawahnya menghantam tanpa ampun. Alvin terbatuk-terbatuk dengan napas yang sudah kembang-kempis. Dan ketika terbatuk sekali lagi, Alvin mendapatkan bercak darah pada telapak tangannya. Seolah tidak peduli, Alvin mengangkat wajahnya, menatap lelaki yang nampak duduk tenang di kursinya. Seraya tersenyum, Alvin terbatuk lagi, “Kenapa anda melakukan ini pada saya, Tuan? Uhuk.”
Laki-laki paruh baya itu menyeringai, “Untuk menebus nyawa dengan nyawa.”
BUGH
BUGH
DUAGH
Kini baik pipi kanan maupun pipi kiri Alvin mendapat satu tonjokan Cuma-Cuma yang meninggalkan bekas biru kehitam-hitaman di wajah orientalnya. Belum sampai di situ, karena setelahnya Pria berbadan kekar yang sedari tadi menghajarnya, mencengkeram kerah baju Alvin dengan kuat lalu melemparnya kasar hingga membentur tembok. Ia sempat mendengar sesuatu yang patah sebelum akhirnya rasa sakit melingkup tubuhnya, LAGI.
“Dengar...”
Dengan Susah payah Alvin mendongakkan wajahnya.
“Ayahmu, Riko Jeremy, telah merebut nyawa istriku.”
BUGH
SRET
BRAK
Wajah Alvin telah benar-benar babak belur. Kerah Alvin dicengkeram lagi, dan kemudian di lempar lagi ke pojok ruangan. Lelaki berwajah oriental itu tersungkur dengan darah yang memancar dari sudut bibirnya. Sekujur tubuhnya sudah bermandikan keringat yang telah bercampur menjadi satu dengan darah dari beberapa luka. Tubuhnya benar-benar hanya merasakan rasa sakit yang mendera begitu hebat.
“Berhenti.” Gabriel melipat tangannya di dada, memandang remeh sosok Alvin yang benar-benar mengenaskan. Alih-alih begitu, Gabriel menoleh pada putrinya yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan kaki gemetar.
“Peluk dia.”
Shilla menatap Ayahnya lekat-lekat, sementara yang ditatap bersikap tidak peduli. Kini tubuh Ayahnya sudah menghadap jendela dan membelakangi tubuhnya. Dialihkan pandangannya, seketika Shilla merasa lemas melihat pemandangan ini. Kaki dan bibirnya sudah gemetar sedari tadi.
Kini bibir tak berdosa itu tergigit keras oleh gigi bagian atas, sementara kakinya yang gemetar mencoba melangkah meski terasa berat
Lakukan atau tidak sama sekali.
“A-a-alvin?” dengan bibir gemetar nama Alvin terlontar dari bibir semerah darah milik Shilla.
Alvin dengan sisa tenaganya mengangkat wajahnya guna menatap wajah Shilla. Dan senyum penuh sayang terulas di wajah yang telah babak belur ketika tubuh Shilla mendekap Alvin dengan erat.
“Shilla...”
Pelukan Shilla mengencang sebelum ia berujar lirih, “Maaf.”
“Shilla, apa kamu masih mengingat pertemuan pertama kita?”
Shilla terdiam sebentar, mengangguk pelan dan mengucapkan kata sebelumnya dengan lirih, “Maaf.”
“Saat itu, kita bertemu dalam sebuah insiden kecil. Lucu ya.”
“Maaf.”
“Setelah itu, entah bagaimana bisa kita saling kenal.”
“Maaf.”
“Lalu, aku mencintaimu. Sungguh, itu terlalu ajaib mengingat kita hanya mengalami pendekatan selama 4 bulan. Cinta itu... aneh ya, Shill?”
“Maaf.”
“Dan karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai sekarang. Sungguh... sebuah keajaiban ya, Shill?”
Shilla terdiam cukup lama. Karena cinta, kita menjadi sepasang kekasih sampai sekarang? Shilla merasa tertohok mendengarnya. Karena cinta? Shilla tidak mengerti bagian yang mana yang disebut cinta jika Shilla melakukan hal sejauh ini? Ini terlalu fana disebut cinta. Cinta tidak begini. Sungguh! Ini bukanlah cinta.
Dan pada akhirnya, masih kata yang sama yang mampu Shilla ucapkan, “Maaf.”
Alvin merengkuh tubuh gemetar itu lebih dalam. Matanya terpejam, dibaliknya sebuah film masa lalu terputar jelas dalam benaknya. Alvin mengingat kembali saat itu, saat dimana ia dengan ceroboh bertabrakan dengan Shilla di tikungan koridor kampus. Ini terlalu konyol, tapi Alvin menyukainya, ia masih mengingatnya dengan jelas.
Film itu masih saja berputar-putar cepat dan bergantian. Semuanya, kenangannya dengan Shilla, takkan pernah terlupakan, sekalipun Alvin telah tiada nantinya. Karena Alvin... mencintai Shilla. Sederhana.
“Shilla... Aku mencintaimu.”
Nafas Alvin tercekat. Namun, tidak begitu lama, karena setelahnya ia tersenyum tulus. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku... bahagia saat—”
DORRR
Alvin masih dengan senyumnya, “—bersamamu.”
“Maaf.”
Tubuh Shilla benar-benar gemetar. Rasa takut, sedih, kecewa, marah dan kehilangan semua berpadu menjadi sebuah guncangan besar dalam hatinya. Memporak-porandakan semuanya hingga ke ulu hati. Dan napasnya terasa sesak, seolah ada palu godam yang menghantam dadanya.
“Aku juga mencintaimu.”
Tangan dengan bercak darah itu melingkar erat di tubuh Alvin. Seolah tak mau sedikitpun kehilangan sosok dalam rengkuhannya.
“Aku juga bahagia saat bersamamu.”
Dan pada akhirnya tubuhnya terduduk lemah, rengkuhannya merenggang. Membuat raga dalam rengkuhan rapuh itu terjatuh tepat di pangkuannya. Pistol dalam genggamannya terjatuh begitu saja.
Lelaki paruh baya yang sedari tadi berdiri menghadap jendela, menatap putrinya dengan cepat. Seulas senyum kemenangan terpatri jelas pada wajah yang mulai terlihat keriput —meski begitu tetap tampan.
“Anak pintar.” Ia menoleh kearah pintu dan menyeringai pada dua bodyguardnya. “Bawa dia ke hadapan Ayahnya. Sekarang!” Lantas setelahnya pergi meninggalkan sang putri yang terkulai lemas.
Suara dentuman itu masih terdengar sangat jelas di telinga Shilla. Pergerakan pelatuk yang ia timbulkan masih terasa sangat nyata di sela-sela jarinya. Tubuh Alvin yang tak berdaya kala merengkuhnya masih terasa hangat dalam hatinya yang kacau. Semuanya... Shilla merasa semuanya masih melingkupi hidupnya. Alvin dengan senyumnya, perhatiannya, kasih sayangnya dan tentunya... cintanya.
Shilla mendongakkan wajahnya. Menatap langit-langit ruangan yang terasa ingin runtuh di matanya, seolah siap menimpa tubuhnya kapanpun itu. Senyum yang terlihat miris itu terkulum. Dalam manik coklat gelapnya, ia melihat Ibunya yang tengah tersenyum pada dirinya di masa lalu. Mengusap lembut rambutnya yang menguarkan aroma strawberry khas anak-anak.
“Setelah ini, Shilla harus patuh pada Ayah. Mengerti?”
Kedua mata itu terpejam keras-keras, menimbulkan kerutan yang terlihat menyimpan sejuta rasa sakit di sana. Sementara suara lembut Ibunya menggema terus-menerus dalam telinganya.
Dia melakukan hal yang benar, bukan? Patuh pada Ayahnya, sekalipun diperintah untuk bunuh diri, tetap harus melakukannya. Begitu, kan? Sekarang ia benar-benar telah mematuhi keinginan Ayahnya dan mengenyahkan hasrat untuk menolak.
Matanya Shilla terbuka setelah terpejam cukup lama, menatap nanar pada pistol yang tergeletak di atas marmer putih dengan bercak darah menempel disana.
Tugasnya telah selesai.
TES
SRET
Setetes air mata lolos begitu saja dari mata Shilla, dengan cepat melintas diatas pipinya. Dan secepat itu juga, Shilla menyekanya kasar. Jangan pernah menjadi gadis cengeng, perintah Ayahnya benar-benar melekat dalam otaknya. Shilla benar-benar tumbuh menjadi gadis yang pantang dengan air mata.
Sekalipun ingin menangis, Shilla akan menangis dalam hati.
***
“Alvin Jeremy sungguhan meninggal?”
“Ini tidak dapat dipercaya.”
“Pemakamannya dilaksanakan kemarin.”
“Hiks. Aku ingin menangis.”
Suara-suara itu masih berlanjut pada topik yang sama. Kematian putra tunggal Tuan Jeremy benar-benar menjadi obrolan hangat di kampus pagi itu. Berita itu tersebar hingga ke setiap penjuru kampus, semua orang membicarakannya. Dan pagi itu, suasana kampus kelam, dirundung duka.
Mungkin, hanya ada seorang gadis yang tak membahas apapun tentang kematian Putra Tuan Jeremy yang terhormat itu. Dia lebih mengasingkan diri dibalik buku setebal 3 cm sejak pagi tadi. Sayangnya, tak ada yang tahu bahwa telinganya mendengarkan dengan serius apapun yang tertangkap telinganya. Dia tak hanya membaca, tapi juga mencuri dengar, seandainya mereka tahu.
Tidak terasa buku yang ia baca telah selesai. Gadis itu menghela napas, lantas matanya beralih menatap arlojinya. Sudah waktunya pergi. Ia menutup bukunya, nampaknya besok dia harus meminjam buku yang baru.
Gadis itu mulai berdiri, mengakhiri kegiatan membacanya juga mencuri dengarnya.
Ini sama seperti membaca buku. Jika telah sampai di lembar terakhir, sejatinya kita akan menggantinya dengan buku lain dan membuka lembar baru. Sama seperti kisah ini, ketika kisah ini telah mencapai lembar terakhir, membuka lembar baru sesungguhnya lebih baik. Jangan lagi menoleh ke belakang, karena tujuan kita adalah kedepan.
Shilla menghembuskan napas dengan kasar bersamaan dengan rasa sakit yang berusaha ia enyahkan.
Kisah ini telah berakhir.
***
KLIK
Televisi flat itu menampakkan layar yang kian menghitam. Ray melirik teman-teman disampingnya. Keningnya mengkerut mendapati keadaan teman-temannya yang terlihat mengenaskan di matanya.
“Kalian nangis?”
Keke, temannya yang tengah mengelap lubang hidungnya dengan tissue menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada kegiatannya mengelap hidung. “Ini sedih, Ray.”
Ray mencibir pada Keke. Menurutnya ini berlebihan.
“Apalagi waktu scene Shilla nembak Alvin pas Alvin bilang ‘Aku mencintaimu’. Itu nyesek, Ray.” Acha, dengan mata memerah menyahut tanpa menoleh seraya merapikan tempat DVD yang terlihat berantakan.
Ray melongo, kini di tatapinya Ozy, temannya yang nampak kalem dengan gadgetnya.
“Elo juga nangis, Zy?”
“Enggak.”
Ray menghembuskan napas lega, setidaknya masih ada temannya yang tidak menjijikkan dan berlebihan —menurutnya.
“Tapi gua tersentuh sama tokoh Alvin Jeremy-nya.”
Apa? Ray melongo setelah mendengus dan mencibir. Ternyata Ozy sama saja.
“Gue mau ke toilet dulu.”
Semuanya menggangguk acuh, tampak tidak peduli dengan Ray. Apapun yang akan Ray lakukan dirumahnya sendiri, itu bukan suatu masalah bagi mereka. Lain lagi jika ini bukan rumah Ray, Ozy pasti akan mengekori Ray. Bersahabat dengan Ray membuat mereka mengenal Ray yang tidak bisa diam.
Izin ke toilet tentu saja alibinya untuk menutupi sesuatu. Ia merasa aneh dengan dirinya. Sejujurnya, sejak ia mematikan Televisi di kamarnya, ia sudah merasa matanya memanas. Awalnya, ia kira itu bukan apa-apa. Sampai pada akhirnya, matanya yang memanas kian memburam oleh sesuatu yang menggenang di pelupuk matanya. Ray merasa risih dengan matanya.
TES
“AISH! KENAPA GUE JUGA NANGIS?!”
***
THE END
19.06 | Label: Cerpen KKP | 0 Comments
Langganan:
Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Kami
O.W.L
Selamat Datang di Perpustakaanku -OWL

















